Mengingat Masa Lalu 1 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 2 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 3 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 4 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 5 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Rabu, 16 Mei 2012

HASRAT SESAAT, SELAMATKAN AKU


Oleh. Haidar Aali Fakhri/ Dwiswandi
Harus dengan apa aku membayar semua kebaikan yang telah Mas berikan padaku?” ucap Nissa padaku yang telah mengantarkannya hingga pintu gerbang kost. Aku tersenyum kecil dan berucap pelan padanya.
“Sudahlah, jangan terlalu Nissa pikirkan. Mas begini tidak punya maksud apapun pada Nissa. Mas hanya ingin mengantarkan Nissa aja” Nissa menatapku sebentar, balas tersenyum.
“Tidak mungkin Mas melakukan ini semua tanpa maksud dalam hati Mas. Nissa yakin itu…”
“Eittt!...” potongku.
“Please…jangan tanamkan terlalu jauh dalam hati Nissa tentang semua ini. Mas ridlo, rela pada yang telah Mas lakukan. Toh, hanya mengantar saja. Apa yang salah?”

Rabu, 18 April 2012

Penjara Suci Yang Terkekang


Tidakku sangka banyak perbedaan yang terjadi dipesantren ini. Santri yang hulu lalang di perkarangan pesantren setiap sore setelah Shalat Asar membentuk keramain dan saling tegur sapa. Betapa ingatan ini kembali ke masa lalu. Masa-masa yang penuh dengan keceriaan dan hukuman karena melanggar kedisipinan yang telah diterapkan dalam AD/ART pesantren.
Pesantren yang dikenal dengan nama Darul Aiman ini hanya berjarak dua kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Bangunan bertingkat berdiri sejajar membentuk leter huruf “U”,  diapit lapangan Bola kaki mini,  dikiri dan kanannya ditemani pepohonan rindang yang dikenal dengan asan teunget. Musalla yang dulunya hanya di topang dengan papan berubah menjadi Musalla permanen yang terletak disamping lapangan bola sebagai pemisah antara Asrama Putra dengan Asrama Putri. Psantren Darul Aiman ini tidak terlalu luas, disamping pesantren sudah banyak rumah penduduk yang dibangun berdekatan dengan tembok pesantren yang tingginya hampir tiga meter.
Walaupun pesantren telah disulap sebegitu megahnya, namun masih ada satu pojokan dekat dengan kamar mandi putra yang belum berubah. Ia, pojokan tempat untuk menikmati sebatang Rokok bersama teman-teman yang ketagihan merokok. Walaupun pesantren mengharamkan merokok dan memberikan sanksi keras bila kedapatan, sehingga edi suatu hari harus menanggung sanksi karena kedapatan merokok dipojokan yang masih berwarna coklat muda itu.
“ Herman, gimana nih. Kira-kira apa hukumannya ya?.” Edi memberi tau ke herman yang masih asyik dengan setrika ditangannya.
“ Tanya saja sama si Bagus di. Karena dia telah merasakan bagaimana enaknya sanksi bagi yang memproduksi asap penyakit”. Nyeloteh herman sambil menunjuk kearahku.
“ Tenang aja di, paling Wc or di jemur dilapangan asrama putri. Jadi ente bisa kenalan lebih dekat dengan asrianda.” Ujarku seadanya yang membuat edi makin penasaran.
Ah.. kenangan itu memang tidak terlupakan. Betapa banyak pengalaman yang terus melekat bila teringat masa lalu di Darul Aiman ini. Kupercepat ayunan langkahku menuju ke pesantren lagi. Ditanganku sebungkus nasi goreng sengaja aku belikan di Ulee Kareng  untuk persiapan makan malam di pesantren. Maklum takut tidak kebagian nasi atau kehabisan nasi, karena aku dari dulu dikenal sangan pemalu kalau soal makanan. Hingga aku kelaparan dikerjain kawan-kawan ketika ambil nasi pagi. Lagi enak atri, eh.. malah dibilang bagus ambil nasi dua piring. Ya.. pasang langkah seribu menuju asrama dech.
Suasana pesantren memang ramai dikunjungi Wali santri setalah Asar. Terlihat kenderaan yang diparkir degan berbagai macam coraknya menandakan banyak Santri yang berasal dari keluarga menengah keatas. Yang aku kagumi adalah para santri aktif ngomong dalam Bahasa Arab dan inggris. Aku mengambil tempat duduk dipojok ruangan kantin, setelah memesan secangkir kopi. Ku arahkan pandangan kearah kanan, tepatnya kearah santri yang lagi main Bola Volly sambil bercengkrama dengan kawan-kawannya. Ditengah lapangan mini bola kaki para pendekar Tapak Suci sangat serius mendengarkan arahan untuk memulai Sparing, dengan baju berwarna merah di padu dengan les kuning menambah kegagahan mereka dalam mengatur kuda-kuda.
Tepat jam 18.00 wib, terdengar seruan dari corong Mikrofon. “ kepada seluruh wali santri dan para tamu, yang bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam. Maka kami harapkan untuk bersiap-siap meninggalkan pesantren. Kepada seluruh santri harap bersiap-siap untuk Muhadasah di tengah lapangan”.  Serunya dengan suara agak dikeraskankan.
Para wali santri mulai meninggalkan pesantren satu persatu. Kenderaan yang searah menuju  jalan keluar membuat jalan Kebun Raja itu macet. Banyak dari wali santri yang mengendarai mobil mewah semacam CRV, Kijang Inova, Avanza dan kenderaan yang lainnya.
Suasana pesantren mulai sunyi. Terdengar suara alunan bacaan Al-Quran saling sahut menyahut, para santri hulu lalang menuju ke Musalla sambil membawa Quran ditangnya. Ada yang lagi berwudhuk dan merapikan kain yang dikenakan. Matahari mulai merayap meninggalkan jejak-jejaknya, cahayanya makin memudar membentuk seluet senja yang makin nyata menyapa malam. Di atas sana awan membentuk lingkaran putih berjalan perlahan seolah-olah memberi tau sesuatu kepada insan untuk berhenti beraktifitas dan memenuhi janji kepada Rabbnya menuju kepada kelezatan Iman.
Selesai Shala Magrib berjama’ah di musalla. Aku bergegas menuju kekamar ustaz Tamrin, salah seorang pengurus pesantren darul aiman yang seleting dengnanku waktu nyantri tahun 1999. Ini perjumpaan yang ketiga bagiku di pesantren ini. Sudah tiga tahun lamanya aku tidak ke Banda Aceh karena sibuk bergelut dengan salah satu LSM yang berkecimpung dalam bidang seni budaya aceh yang ada di Meulaboh Aceh Barat sebagai kota pesisir pantai Barat Selatan.
“ Bagaimana peraturan pesantren sekarang Tamrin.?” Tanyaku membuka pembicaraan.
“ Wah.. Cukup beda dengan masa lalu.” Ujarnya sambil sekali-kali melihat kearah pintu. Kamar yang seukuran 4x6 meter ini di cat dengan warna biru yang sudah agak pudar. Di dinding sebelah kanan masih ada photo kami ketika rekreasi kepantai Syiah Kuala berdiri kokoh dengan bingkai terbuat dari kayu warna emas. Di sana hanya terdapat satu ranjang dan satu lemari, kamar yang dipenuhi kaligrafi ini terlihat begitu hidup dengan Kitab tersusun rapi di pojok ruangan.
“ sehabis Tsunami hampir seluruh pesantren yang ada di banda aceh ini terkekang dengan peraturan HAM anak!.”  Lanjutnya tanpa aku tanyakan.
“ Bayangkan Gus!, banyak santri yang melakukan pelanggaran, ada yang kedapatan pacaran, merokok, mencuri, berkelahi dan bahkan ada yang berani melawan guru-gurunya. Mereka tidak takut dengan sanksi. Kalau kami kasih sanksi berat, sebagian mereka akan melapor ke orang tua dan akan sampai kepada KOMNAS HAM.!” Tamrin berhenti sejenak, tangannya diarahkan kekepala untuk membetulkan letak pecinya.
Aku hanya terdiam. Aku pernah mendengar salah satu pesantren di banda aceh yang ustaznya dipenjarakan gara-gara mencubit santri. Padahal hanya satu cubitan hingga media memuat berita itu. Dan banyak kalangan elit yang duduk dipemerintahan mencibir peantren lantaran kejadian itu.
Sungguh ironis dan menyayat hati. Pesantren yang mencetak kader Islami ini setiap hari dimiringkan. Aku teringat satu buku yang pernah aku baca tentang pahlawan nasional Jendral Ahmad Yani pernah berkata. “ Kalau bukan lantaran kalimat Takbir, maka negeri ini sampai sekarang masih di jajah. Kalau bukan lantaran para Ulama, Kiyai dan para Santri, maka negeri ini masih dalam keadaan mencekam. Karna merekalah dengan ketebalan Iman, dengan semangat jihat yang tinggi melantunkan kalimat Takbir dibarisan depan menyiutkan nyali para penjajah hingga mereka kocar- kacir dalam menghadapi semangat santri ini untuk memperoleh kemerdekaan.”
Tapi semangat itu masih ada tertanam dalam jiwa-jiwa yang tertekan. Walaupun HAM sangat digiatkan NGO asing demi melancarkan semangat kolonialnya dibumi serambi mekkah ini. Akibatnya, pesantren sangat mereka tekan. Pesantrenlah wadah kobaran jihad  yang mereka perhitungkan, tapi mereka yang duduk disinggasana menanggapi dengan dingin malah mendukungnya. Setelah Tsunami kegiatan itu makin menyesak jiwa yang dilindungi keimanan. Padahal Rasulullah telah menerapkan HAM dan HAB ( Hak Asasi Binatang ) tapi kita rela meninggalkannya demi menganut kepunyaan NGO dibawah panji-panji USA.
“ itulah gus, kita tidak tau mau buat apa..?” dengan suara makin parau.
“ mungkin putaran kehidupan tidak memihak kita tamrin..!!!” Ujarku perlahan.
  Andai pemimpin aceh ini seperti pimpinan Iran Ahmad Dinejad. Maka masalah yang ditakutkan pesantren akan teratasi gus.” Sambil menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah beban sudah memenuhi ubun-ubun seantero kepala tamrin. Dia memang orang yang bertanggung jawab dalam bidang santri. Sebagai kepala Pengasuhan Santri sudah sepatutnya tamrin mengemban beban ini.
Aku hanya penasaran dengan ucapan tamrin menganai Ahmad Dinejad. Apa kelebihannya ya...?. yang aku tau Presiden iran itu salah satu presidan yang vokal, orator ulung yang selalu dijelek-jelekkan media barat.
Tamrin menjelaskan panjang lebar tentang Ahmad Dinejad sebagai Presiden negeri Persia itu. Yang selalu bertentangan dengan paham barat, dan berani berkoar-koar disidang umum PBB tentang Israil dan Amerika, bahwa Teroris yang paling nyata tidak lain adalah anda Wahai Amerika. Uh.. hebat betul ini presiden. Patut saja pembicaraan tamrin sampai ke iran, dari segi keberanian diakui  dunia dan dari segi kepemimpinan bisa di ambil contoh teladan bagi kaum muslim yang ada di aceh ini.
“ Kamu tau gus apa kata Ahmad Dinejad ketika diangkat menjadi Presiden ..?”
“ Tidak!” jawabku menggelengkan kepala.
“ Dia berdiri didepan cermin dan berkata. Kamu yang didepan kaca adalah orang kecil, kamu memang pemimpin. Dan kamu akan bertanggung jawab atas apa yang kamu pimpin nantinya. Pemimpin adalah pembatu dan pelayan masyarakat, maka kamu harus berani melayani mereka bukan untuk dilayani.” Duh.. hebat betul pemimpin ini.
Andai kata Aceh dipimpin oleh orang-orang yang setara dengan Ahmad Dinejad, maka pesantren akan mendapatkan forsi yang lebih baik dari sekarang tanpa tekanan dari pihak asing. Tanpa terasa malam merayap dengan cepatnya. Jam di dinding telah menunjukkan pukul satu malam, nasi goreng yang aku belikan tadi sore menjadi menu santapan malam kami.
Pagi mulai merayap dengan kicauan burung meloncat dari satu ranting keranting yang lain. Cahaya mentari menyelinap lewat celah jendela menerang seantero alam ini. Ku percapat langkahku menuju kekantin bersama tamrin. Koran harian ku lahap sebagai  imformasi bagiku, mungkin ada berita yang heboh disana. Duh!, senangnya aku. Halaman pertama hari Rabu 14 Desember 2011 membuat mataku melotot. Hampir 1000 polisi yang ada di aceh terkait dengan Narkoba. Besoknya kejadian yang sama lagi. Kapolda Aceh akan merekrut polisi dari Besik Dayah atau Pesantren. Tapi hatiku tetap gelisah, banyak sekali cobaan yang harus dihadapi Pesantren Aceh saat ini. Kebrobrokan moral makin meraja lela. Al-Quran mulai terlupakan yang ditopang dengan makin canggihnya alat yang membuat para remaja larut dalam enfario kebebasan. Sudah sepatutnya wahai Kapolda.

Nama Pena penulis : shefry Al-Drintijy
Penggiat Seni Budaya Aceh. Tinggal di Ulee Kareung Banda Aceh.