Mengingat Masa Lalu 1 title
Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata
Mengingat Masa Lalu 2 title
Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata
Mengingat Masa Lalu 3 title
Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata
Mengingat Masa Lalu 4 title
Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata
Mengingat Masa Lalu 5 title
Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata
Jumat, 20 April 2012
Rabu, 18 April 2012
Penjara Suci Yang Terkekang
Tidakku sangka banyak perbedaan
yang terjadi dipesantren ini. Santri yang hulu lalang di perkarangan pesantren
setiap sore setelah Shalat Asar membentuk keramain dan saling tegur sapa.
Betapa ingatan ini kembali ke masa lalu. Masa-masa yang penuh dengan keceriaan
dan hukuman karena melanggar kedisipinan yang telah diterapkan dalam AD/ART pesantren.
Pesantren yang dikenal dengan
nama Darul Aiman ini hanya berjarak dua kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Bangunan
bertingkat berdiri sejajar membentuk leter huruf “U”, diapit lapangan Bola kaki mini, dikiri dan kanannya ditemani pepohonan rindang
yang dikenal dengan asan teunget. Musalla yang dulunya hanya di topang dengan
papan berubah menjadi Musalla permanen yang terletak disamping lapangan bola
sebagai pemisah antara Asrama Putra dengan Asrama Putri. Psantren Darul Aiman
ini tidak terlalu luas, disamping pesantren sudah banyak rumah penduduk yang dibangun
berdekatan dengan tembok pesantren yang tingginya hampir tiga meter.
Walaupun pesantren telah disulap
sebegitu megahnya, namun masih ada satu pojokan dekat dengan kamar mandi putra
yang belum berubah. Ia, pojokan tempat untuk menikmati sebatang Rokok bersama
teman-teman yang ketagihan merokok. Walaupun pesantren mengharamkan merokok dan
memberikan sanksi keras bila kedapatan, sehingga edi suatu hari harus
menanggung sanksi karena kedapatan merokok dipojokan yang masih berwarna coklat
muda itu.
“ Herman, gimana nih. Kira-kira
apa hukumannya ya?.” Edi memberi tau ke herman yang masih asyik dengan setrika
ditangannya.
“ Tanya saja sama si Bagus di.
Karena dia telah merasakan bagaimana enaknya sanksi bagi yang memproduksi asap
penyakit”. Nyeloteh herman sambil menunjuk kearahku.
“ Tenang aja di, paling Wc or di jemur
dilapangan asrama putri. Jadi ente bisa kenalan lebih dekat dengan asrianda.” Ujarku
seadanya yang membuat edi makin penasaran.
Ah.. kenangan itu memang tidak
terlupakan. Betapa banyak pengalaman yang terus melekat bila teringat masa lalu
di Darul Aiman ini. Kupercepat ayunan langkahku menuju ke pesantren lagi.
Ditanganku sebungkus nasi goreng sengaja aku belikan di Ulee Kareng untuk persiapan makan malam di pesantren. Maklum
takut tidak kebagian nasi atau kehabisan nasi, karena aku dari dulu dikenal
sangan pemalu kalau soal makanan. Hingga aku kelaparan dikerjain kawan-kawan
ketika ambil nasi pagi. Lagi enak atri, eh.. malah dibilang bagus ambil nasi
dua piring. Ya.. pasang langkah seribu menuju asrama dech.
Suasana pesantren memang ramai
dikunjungi Wali santri setalah Asar. Terlihat kenderaan yang diparkir degan
berbagai macam coraknya menandakan banyak Santri yang berasal dari keluarga
menengah keatas. Yang aku kagumi adalah para santri aktif ngomong dalam Bahasa
Arab dan inggris. Aku mengambil tempat duduk dipojok ruangan kantin, setelah
memesan secangkir kopi. Ku arahkan pandangan kearah kanan, tepatnya kearah
santri yang lagi main Bola Volly sambil bercengkrama dengan kawan-kawannya.
Ditengah lapangan mini bola kaki para pendekar Tapak Suci sangat serius mendengarkan
arahan untuk memulai Sparing, dengan baju berwarna merah di padu dengan les
kuning menambah kegagahan mereka dalam mengatur kuda-kuda.
Tepat jam 18.00 wib, terdengar
seruan dari corong Mikrofon. “ kepada seluruh wali santri dan para tamu, yang
bahwa jam sudah menunjukkan pukul enam. Maka kami harapkan untuk bersiap-siap
meninggalkan pesantren. Kepada seluruh santri harap bersiap-siap untuk Muhadasah
di tengah lapangan”. Serunya dengan
suara agak dikeraskankan.
Para wali santri mulai
meninggalkan pesantren satu persatu. Kenderaan yang searah menuju jalan keluar membuat jalan Kebun Raja itu
macet. Banyak dari wali santri yang mengendarai mobil mewah semacam CRV, Kijang
Inova, Avanza dan kenderaan yang lainnya.
Suasana pesantren mulai sunyi.
Terdengar suara alunan bacaan Al-Quran saling sahut menyahut, para santri hulu
lalang menuju ke Musalla sambil membawa Quran ditangnya. Ada yang lagi
berwudhuk dan merapikan kain yang dikenakan. Matahari mulai merayap
meninggalkan jejak-jejaknya, cahayanya makin memudar membentuk seluet senja
yang makin nyata menyapa malam. Di atas sana awan membentuk lingkaran putih
berjalan perlahan seolah-olah memberi tau sesuatu kepada insan untuk berhenti
beraktifitas dan memenuhi janji kepada Rabbnya menuju kepada kelezatan Iman.
Selesai Shala Magrib berjama’ah
di musalla. Aku bergegas menuju kekamar ustaz Tamrin, salah seorang pengurus
pesantren darul aiman yang seleting dengnanku waktu nyantri tahun 1999. Ini
perjumpaan yang ketiga bagiku di pesantren ini. Sudah tiga tahun lamanya aku
tidak ke Banda Aceh karena sibuk bergelut dengan salah satu LSM yang berkecimpung
dalam bidang seni budaya aceh yang ada di Meulaboh Aceh Barat sebagai kota
pesisir pantai Barat Selatan.
“ Bagaimana peraturan pesantren
sekarang Tamrin.?” Tanyaku membuka pembicaraan.
“ Wah.. Cukup beda dengan masa
lalu.” Ujarnya sambil sekali-kali melihat kearah pintu. Kamar yang seukuran 4x6
meter ini di cat dengan warna biru yang sudah agak pudar. Di dinding sebelah
kanan masih ada photo kami ketika rekreasi kepantai Syiah Kuala berdiri kokoh
dengan bingkai terbuat dari kayu warna emas. Di sana hanya terdapat satu
ranjang dan satu lemari, kamar yang dipenuhi kaligrafi ini terlihat begitu
hidup dengan Kitab tersusun rapi di pojok ruangan.
“ sehabis Tsunami hampir seluruh
pesantren yang ada di banda aceh ini terkekang dengan peraturan HAM
anak!.” Lanjutnya tanpa aku tanyakan.
“ Bayangkan Gus!, banyak santri
yang melakukan pelanggaran, ada yang kedapatan pacaran, merokok, mencuri,
berkelahi dan bahkan ada yang berani melawan guru-gurunya. Mereka tidak takut
dengan sanksi. Kalau kami kasih sanksi berat, sebagian mereka akan melapor ke orang
tua dan akan sampai kepada KOMNAS HAM.!” Tamrin berhenti sejenak, tangannya
diarahkan kekepala untuk membetulkan letak pecinya.
Aku hanya terdiam. Aku pernah
mendengar salah satu pesantren di banda aceh yang ustaznya dipenjarakan
gara-gara mencubit santri. Padahal hanya satu cubitan hingga media memuat
berita itu. Dan banyak kalangan elit yang duduk dipemerintahan mencibir peantren
lantaran kejadian itu.
Sungguh ironis dan menyayat hati.
Pesantren yang mencetak kader Islami ini setiap hari dimiringkan. Aku teringat
satu buku yang pernah aku baca tentang pahlawan nasional Jendral Ahmad Yani
pernah berkata. “ Kalau bukan lantaran kalimat Takbir, maka negeri ini sampai
sekarang masih di jajah. Kalau bukan lantaran para Ulama, Kiyai dan para Santri,
maka negeri ini masih dalam keadaan mencekam. Karna merekalah dengan ketebalan
Iman, dengan semangat jihat yang tinggi melantunkan kalimat Takbir dibarisan
depan menyiutkan nyali para penjajah hingga mereka kocar- kacir dalam
menghadapi semangat santri ini untuk memperoleh kemerdekaan.”
Tapi semangat itu masih ada
tertanam dalam jiwa-jiwa yang tertekan. Walaupun HAM sangat digiatkan NGO asing
demi melancarkan semangat kolonialnya dibumi serambi mekkah ini. Akibatnya,
pesantren sangat mereka tekan. Pesantrenlah wadah kobaran jihad yang mereka perhitungkan, tapi mereka yang
duduk disinggasana menanggapi dengan dingin malah mendukungnya. Setelah Tsunami
kegiatan itu makin menyesak jiwa yang dilindungi keimanan. Padahal Rasulullah
telah menerapkan HAM dan HAB ( Hak Asasi Binatang ) tapi kita rela
meninggalkannya demi menganut kepunyaan NGO dibawah panji-panji USA.
“ itulah gus, kita tidak tau mau
buat apa..?” dengan suara makin parau.
“ mungkin putaran kehidupan tidak
memihak kita tamrin..!!!” Ujarku perlahan.
“
Andai pemimpin aceh ini seperti pimpinan Iran Ahmad Dinejad. Maka
masalah yang ditakutkan pesantren akan teratasi gus.” Sambil menarik nafas
dalam-dalam, seolah-olah beban sudah memenuhi ubun-ubun seantero kepala tamrin.
Dia memang orang yang bertanggung jawab dalam bidang santri. Sebagai kepala
Pengasuhan Santri sudah sepatutnya tamrin mengemban beban ini.
Aku hanya penasaran dengan ucapan
tamrin menganai Ahmad Dinejad. Apa kelebihannya ya...?. yang aku tau Presiden
iran itu salah satu presidan yang vokal, orator ulung yang selalu
dijelek-jelekkan media barat.
Tamrin menjelaskan panjang lebar
tentang Ahmad Dinejad sebagai Presiden negeri Persia itu. Yang selalu
bertentangan dengan paham barat, dan berani berkoar-koar disidang umum PBB
tentang Israil dan Amerika, bahwa Teroris yang paling nyata tidak lain adalah anda
Wahai Amerika. Uh.. hebat betul ini presiden. Patut saja pembicaraan tamrin
sampai ke iran, dari segi keberanian diakui
dunia dan dari segi kepemimpinan bisa di ambil contoh teladan bagi kaum
muslim yang ada di aceh ini.
“ Kamu tau gus apa kata Ahmad
Dinejad ketika diangkat menjadi Presiden ..?”
“ Tidak!” jawabku menggelengkan
kepala.
“ Dia berdiri didepan cermin dan
berkata. Kamu yang didepan kaca adalah orang kecil, kamu memang pemimpin. Dan
kamu akan bertanggung jawab atas apa yang kamu pimpin nantinya. Pemimpin adalah
pembatu dan pelayan masyarakat, maka kamu harus berani melayani mereka bukan
untuk dilayani.” Duh.. hebat betul pemimpin ini.
Andai kata Aceh dipimpin oleh
orang-orang yang setara dengan Ahmad Dinejad, maka pesantren akan mendapatkan
forsi yang lebih baik dari sekarang tanpa tekanan dari pihak asing. Tanpa
terasa malam merayap dengan cepatnya. Jam di dinding telah menunjukkan pukul
satu malam, nasi goreng yang aku belikan tadi sore menjadi menu santapan malam
kami.
Pagi mulai merayap dengan kicauan
burung meloncat dari satu ranting keranting yang lain. Cahaya mentari
menyelinap lewat celah jendela menerang seantero alam ini. Ku percapat
langkahku menuju kekantin bersama tamrin. Koran harian ku lahap sebagai imformasi bagiku, mungkin ada berita yang
heboh disana. Duh!, senangnya aku. Halaman pertama hari Rabu 14 Desember 2011
membuat mataku melotot. Hampir 1000 polisi yang ada di aceh terkait dengan
Narkoba. Besoknya kejadian yang sama lagi. Kapolda Aceh akan merekrut polisi
dari Besik Dayah atau Pesantren. Tapi hatiku tetap gelisah, banyak sekali
cobaan yang harus dihadapi Pesantren Aceh saat ini. Kebrobrokan moral makin
meraja lela. Al-Quran mulai terlupakan yang ditopang dengan makin canggihnya
alat yang membuat para remaja larut dalam enfario kebebasan. Sudah sepatutnya
wahai Kapolda.
Nama Pena penulis : shefry
Al-Drintijy
Penggiat Seni Budaya Aceh.
Tinggal di Ulee Kareung Banda Aceh.