Mengingat Masa Lalu 1 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 2 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 3 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 4 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Mengingat Masa Lalu 5 title

Kehidupan Di Dunia Bagaikan Mimpi, Akhiratlah Yang Nyata

Sabtu, 16 Juni 2012

Makalah Beda Pedapat tentang Zakat tanaman dan pangan serta Pelemparan Jumrah dalam Haji

Makalah ini  saya uploud untuk kawan-kawan yang lagi mempelajari tentang perbandingan mazhab. tapi terlalu singkat.
Kata Pengantar
Berawal dengan untaian puji (hamd) tiada henti kepada Robbul ’Izzati, puja yang tiada tara kepada dzat Yang Maha Kuasa, dan syukur kepada Allah atas limpahan rahmat-Nya
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada insan mulia tanpa cela, insan tarbawi yang mendidik umat manusia menjadi generasi qur’ani dan rabani, insan utama qudwah hasanah umat manusia, yakni Rasul Muhammad SAW, beserta segenap keluarganya yang beriman, para shahabat, dan seluruh umat yang istiqamah mengikuti sunnahnya hingga hari qiyamah.
Makalah ini kami sampaikan dengan judul makalah Beda Pedapat tentang Zakat tanaman dan pangan serta Pelemparan Jumrah dalam Haji . Harus kami akui bahwa tersusunnya makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak yang tidak lelahnya menyisihkan tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan motivasi hingga titik perjuangan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan apalagi sampai kepada kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca senantiasa kami tunggu. Sebagai wujud dari kecintaan kita terhadap ilmu pengetahuan yang perlu dikembangkan dan diamalkan ibadah untuk mencari ridho illahi.
A.     Perbedaan Pendapat Tentang Zakat Tanaman dan Pangan.
Ditinjau dari segi bahasa, kata Zakat memiliki beberapa arti, yaitu al Barakatu yang berarti Keberkahan, al Namaa ( pertumbuhan dan perkembangan ), ath Thaharotu ( kesucian ), dan ash shalahu ( keberesan ). Sedangkan secara istilah, meskipun meskipun ulama’ mengemukakannyadengan redaksi yang agak berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi pada prinsipnya sama yaitu Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dengan menurut Islam. Sangat nyata dan erat sekali yaitu bahwa harta yang dikeluarkan. Zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang, tambah, suci dan beres.
1.      Hasil pertanian yang wajib dizakati
Kewajiban untuk mengeluarkan zakat telah ditegaskan dalam al Qur’an surat al An’am ayat 141 Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung. Pohon kurma dan tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa ( bentuk dan warnanya ), dan tidak sama ( rasanya ). Makanlah dari buahnya ( yang bermacam-macam itu ) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ( dengan disedekahkan kepada fakir miskin ), dan janganlah kamu berlebih-lebihan ( al An’am : 141 )
Dalam ayat tersebut di atas ada kalimat “dan tunaikanlah haknya” oleh ulama ditafsirkan ( ath Thabrani ) dan ulama’ lainnya, bahwa pengertian hak adalah “ zakat “.
Adapun zakat pertanian yangharus dilakukan terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, an Nasa’i, dan Abu Daud yaitu :
Yang dialiri sungai atau hujan, zakatnya 10%, sedangkan yang disirami dengan pengairan ( irigasi ), zakatnya 5% ( H.R. Ahmad, Muslim, an Nasa’i, dan Abu Daud ).
2.      Mengenai jenis hasil pertanian bumi para Ulama’ berbeda pendapat antara lain
Ibnu Umar dan sebagian Ulama’ salaf berpendapat bahwa zakat yang wajib ada empat jenis tanaman saja, yaitu : hintah ( gandum ), syair ( sejenis gandum ), kurma dan anggur. Karena hanya empat jenis tanaman itulah yang terdapat dalam hadits.
Imam Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa jenis tanaman yang wajib zakat adalah makanan pokok sehari-hari anggota masyarakat seperti : beras, jagung, sagu. Selain makanan pokok itu tidak dikenakan zakat. Oleh Syafi’i dikatakan juga bahwa kurma dan anggur wajib dikeluarkan zakatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah.
Imam Ahmad berpendapat bahwa biji-bijian yang kering dan dapat ditimbang ( ditakar ), seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau dikenakan zakatnya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa semuja tanaman hasil bumi yang bertujuan untuk mendapat penghasilan diwajibkan mengeluarkan zakatnya walaupun belum menjadi makanan pokok. Sebagai landasan beliau adalah surat al Baqarah ayat 267.
Nisab dan besarnya zakat dan buah-buahan
Tanaman hasil bumi yang dapat ditakar dengan literan dan ada juga yang hanya ditimbang dengan timbangan saja. Bila ditakar dengan literan, nisabnya 930 liter dan bila ditimbang seberat 750 kg. sedangkan tanaman yang tidak dapat ditimbang atau ditakar, seperti pete maka dapat dipertimbangkan dengan harganya. Bila telah sampai nisabnya seharga 93,6 gr dikeluarkan zakat.
Besarnya zakat hasil pertanian berkisar dua kemungkinan, yaitu 10% ( bila tidak memerlukan biaya ) dan 5% bila memerlukan biaya yang besar. Jadi zakat yang dikeluarkan adalah :
Az Zuhail dalam al Fiqh al Islamiwa Adilatuhu mengemukakan berbagai pendapat Madzhab dalam hal zakat pertanian. Pertama, menurut Imam Abu Hanifah bahwa zakat itu harus dikeluarkan dari semua jenis tanaman yang tumbuh di bumi, baik jumlahnya sedikit walaupun banyak, kecuali kayu bakar, rerumputan, bambu parsi yang biasa dipergunakan.
Ibnu Rusyid berkata, "Sebab-sebab munculnya perselisihan (pendapat) diantara ulama yang membatasi wajibnya zakat pada jenis-jenis yang telah disepakati bersama dan pihak yang meluaskannya pada segala yang dapat disimpan dan menjadi makanan, ialah bersumber dari dikaitkannya zakat kepada jenis yang empat adalah apakah karena dzatnya ataukah karena illat (alasan)nya sebagai bahan pahan.
Golongan yang mengatakan karena dzatnya, membatasi wajib zakat hanya kepada jenis yang empat saja, sedangkan pihak yang berpendapat disebabkan fungsinya sebagai bahan pangan, meluaskan hukum wajibnya kepada semua bahan pangan.
Mengenai sebab-sebab perselisihan diantara golongan yang membatasi wajibnya zakat pada bahan pangan dengan golongan yang meluaskannya kepada semua yang dihasilkan bumi -kecuali atas apa yang telah disepakati bersama seperti kayu bakar, rumput dan sebangsa pimping- adalah disebabkan perbedaan qiyas dengan keumuman lafadz.
Adapun lafadz yang menyatakan umum itu ialah sabda Nabi SAW yang artinya: 'Pada apa yang disiram oleh air hujan, wajib zakat sepersepuluhnya dan pada tanaman yang diairi dengan alat penyiram seperdua puluh".
Kata "Apa pun" adalah kata yang umum. Demikian pula firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan Dialah yang telah menumbuhkan kebun-kebun yang berdaun rimbun", sampai kepada ayat "Dan hendaklah kamu keluarkan zakatnya waktu memanen".
Adapun qiyas adalah karena tujuan zakat untuk menutup kebutuhan perut dan hal ini tidak mungkin -umumnya- kecuali dengan bahan pangan. Maka orang yang membatasi kata-kata yang umum tadi dengan qiyas ini menggugurkan zakat pada tanaman yang tidak termasuk bahan pangan.
Sebaliknya golongan yang mempertahankan makna kata-kata umum, mewajibkan pada tanaman-tanaman lain, kecuali yang telah disepakati bersama (ijma').
Kemudian golongan yang sepakat tentang bahan pangan, masih berbeda pendapat mengenai beberapa tanaman, hal ini dikarenakan perselisihan meraka apakah itu merupakan bahan pangan atau tidak dan apakah diqiyaskan kepada tanaman yang telah disepakati atau tidak diqiyaskan. Misalnya perselisihan Syafi'i dengan Malik tentang zaitun. Malik mengatakan wajib dizakati, sedangkan Syafi'i dalam pendapatnya yang mutakhir di Mesir menentangnya. Hal ini disebabkan tidak lain karena perselisihan pendapat mereka apakah zaitun itu merupakan tanaman untuk bahan pangan atau bukan.
A.     Perbedaan Pendapat Tentang Melontar Jumrah Dalam Haji
1.      Pengertian Haji
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada, seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam al-Qur'an dan sunnah rasul.
Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari kelahiran seluruh umat manusia.
 Haji  adalah rukun Islam yang kelima setelah syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan sewaktu-waktu.
2.      Pengertian Melontar Jumrah
Melontar jumrah adalah salah satu wajib haji. Jama’ah yang tidak melontar wajib membayar Dam (denda) berupa seekor kambing. kalau tidak mampu boleh membayar Fidyah atau berpuasa 10 hari yaitu 3 hari dimasa haji di tanah suci dan sisanya di tanah air.
Waktu melontar mulai setelah lewat tengah malam sampai terbenam matahari, sedangkan utamanya pada waktu duha (pagi setelah matahri terbit). Pada tanggal 10 Zulhijah (Hari Nahr) jema’ah haji hanya melontar 1 jumrah saja yaitu jumrah Aqabah.
Kemudian pada hari-hari Tasyrik yang lain, yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Zulhijah yang dilontar adalah ketiga-tiganya (Ula, Wusta, dan Aqabah). Melontar dimulai sesudah masuk waktu Zuhur atau sesaat tergelincirnya matahari sampai terbit besok pagi. Jumrah yang terletak paling dekat dengan Mekah disebut jumrah Aqabah, letaknya diatas perbukitan Aqabah.
Jumrah Artinya tempat pelemparan, yang didirikan untuk memperingati saat nabi Ibrahim digoda oleh setan agar tidak melaksanakan perintah Allah menyembelih putranya Ismail. Tiga kali beliau digoda tiga kali pulaia melontarkan batunya kepada setan sebagaimana diperintah dab dibimbing langsung oleh malaikat. Ditempat – tempat inilah kemudian dibangun Tugu – tugu dengan nama Ula, Wusta, dan Aqabah.
Jumrah Ula (jumrah pertama), disebut juga ‘Jumrah Surgha’ ( jumrah yang kecil ) terletak dekat mesjid Khaif.
Jumrah Wusta (jumrah kedua), disebut juga ‘Jumrah Tsaniyah’ ( jumrah yang sedang ) terletak diantara kedua jumrah yaitu Jumrah Ula dan Jumrah Aqabah.
Jumrah Aqabah (jumrah ketiga), yang disebut juga ‘Jumrah Tsalitsah’ ( Jumrah yang besar ) berada dipintu gerbang Mina.
3.      Perbedaan Pendapat
Imam Syafi’I Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja pada hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada hari-hari tasyriq yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12, 13 dzulhijjah). Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan malam nahr, dengan syarat sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga hari tasyriq.
                 Imam Hanafi waktu melontar jumrah Aqabah mulai fajr Nahr hingga fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu tidak sah, sedang melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam. Kegiatan melontar ini Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh hingga matahari terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya makruh, sebagaimana juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga terbit matahari pada hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr hendaklah melontar jumrah yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari jumrah Ula (jumrah yang pertama), yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif, kemudian jumrah Wusta dan berikutnya jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar tujuh kali dengan cara yang telah dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini ia balik, misalnya dengan melontar jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka disunnatkan mengulang lagi lontarannya. Setelah menyempurnakan lontaran yang setelahnya disusul dengan lontaran lain, disunnahkan berdiri (tenang) selama membaca ¾ juz’ dari Al-Qur’an, yaitu sekitar 1/3 jam (20 menit).
               Imam Hambali Adapun waktu untuk melontar, adalah dari tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah berwukuf dari sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah dilakukan pada hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari.
Imam Maliki Adapun waktu untuk melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari (zawal), maka yang demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila tidak mengulangnya lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari kedua, maka ia wajib membayar dam. Melontar itu mandub dilaksanakan  sebelum melaksanakan shalat zhuhur pada setiap harinya.
 Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wa sallam, bahwa beliau ditanya di hari raya (tanggal 10 Dzulhijjah) dan bukan pada hari tasyriq, di mana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa seorang sahabat berkata: ‘Saya melontar Jumarah setelah sore hari.’[1]Maksudnya ia melontar Jumrah di akhir siang (sore hari) dan ini sudah cukup (boleh) menurut pendapat para ahli. Apabila ia melontar jumrah di sore  hari pada hari lebaran, setelah shalat Zhuhur atau setelah shalat ‘Ashar maka tidak mengapa. Tetapi bukan berarti bahwa ia melontar Jumrah di malam hari, karena ia bertanya  sebelum tiba malam hari.
Adapun melontar jumrah setelah malam hari, maka para ulama berbeda pendapat: di antara mereka ada yang berpendapat bahwa itu sudah cukup dan ini merupakan pendapat yang cukup kuat. Yang lain berkata: Apabila sudah terbenam matahari, tidak boleh melontar jumrah aqabah namun ia menundanya dan melontar Jumrah setelah tergelincir matahari di hari ke sebelas, akan tetapi ia melontar jumratul aqabah sebelum melontar jumrah-jumrah yang lain di hari yang ke sebelas. Inilah yang disyari’atkan menurut pendapat para ulama.
Namun setiap muslim harus bersungguh-sungguh dan mengusahakan sehingga ia bisa melontar jumrah aqabah di hari lebaran, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Salallahu’alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Demikian pula di hari-hari berikutnya jika tidak sempat melontar jumrah setelah gelincir matahari dan sebelum terbenam matahari, maka tidak mengapa   ia melontar jumrah setelah terbenam matahari hingga akhir malam, menurut pendapat yang shahih.

Zionis Yahudi Membohongi dunia dengan Cerita Holocaust

Israil bangsa pembohong, sejak masa Nabi Musa mereka sudah dikenal dengan Bangsa pembohong dan penjajah. kebohongan yang paling besar mengenai Halocaust pembantaian bangsa yahudi oleh Nazi jerman, padahal itu semua adalah peristiwa yang tidak terjadi, hanya ingin menarik simpati dunia untuk bisa mendirikan negeri di Pelestina.
inilah Zionis Yahudi. mereka akan menghalalkan segala cara untuk bisa membohongi publik dunia tentang pembantaian yahudi.
 
Peristiwa-peristiwa spektakuler yang layak dikenal dan dikenang tak lepas dari preseden sejarahnya. Ia tetap bergelantungan dideret-deret pojok bisu sejarah, meski kita mengobrak-abrik, memanipulasi, dan menutup-nutupi. Bagaimana pun, sejarah lahir dari rahim kesadaran yang dihentakkan oleh bunyi realitas faktual, tak akan hilang keotentikannya.

Kini tak sedikit batu-bata sejarah digugat, di break down, hingga ditelanjangi sampai-sampai segepok pertanyaan yang menghinggap dibenak berangsur hilang. Secara logika, kita tak lagi mampu berdialog dengan sejarah. Karena, sejarah berdialog dengan kausalitas korelasi antara massa waktu saat itu dan kejadian sejarah. Maka dari itu, kita terkesan patah ketika hendak mendefinisikan, menafsirkan, apalagi menyimpulkan eksemplar uraian sejarah.

Sejarah Holocaust misalnya, yang saat ini mengundang pertanyaan dan kian temukan titik runcing kontroversinya. Bahkan, Ahmadinejad presiden Iran berani bersuara miris tentang Holocaust tersebut: “Sekarang, mereka (bangsa Eropa) telah menciptakan sebuah dongeng dengan nama Holocaust dan menganggapnya melebihi Tuhan, agama, dan ramalan.”

Holocaust adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan genocide (pemusnahan secara terencana) kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan Afrika Utara pada Perang Dunia II oleh Adolf Hitler dan Nazi. Paham diskriminasi ras telah membawa Hitler menempatkan ras-ras lain berada dibawah ras Arya. Kelompok-kelompok bangsa yang dianggap ras bawah seperti Yahudi, Polandia, Rusia, Belarusia-Serbia, Afrika, dan Asia dicap sebagai golongan Untermensch (manusia rendahan) dan menjadi target khusus aksi “pembersihan” Nazi.

Istilah Holocaust awalnya berasal dari bahasa Yunani halekaustann, yang berarti sebuah korban persembahan kepada dewa yang “sama sekali (holos) terbakar (kaustos)”. Akhir abad ke-19, istilah “Holocaust” digunakan untuk menjelaskan malapetaka-malapetaka atau bencana-bencana. (hlm. 10). Berdasar pada Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata Holocaust kali pertama digunakan untuk mendeskripsikan perlakuan Hitler kepada orang-orang Yahudi dari tahun 1942, walau kata ini belum menjadi referensi standar hingga tahun 1950-an. Akan tetapi, pada pengujung tahun 1970-an makna lazim dari kata ini menjadi genocide Nazi. Holocaust pun memiliki beragam nama-nama yang telah dikenal guna mendeskripsikan genocide. Seperti, Ha-Shoah (bahasa Yahudi), Khurbn atau Halukaust (bahasa Yiddi), Porajmos (bahasa Romania), Calopalenia atau Zaglada (penyebutan kedua nama ini di miliki Bahasa Polandia).

Tanggal 8 dan 9 November 1938, merupakan langkah awal dari Holocaust melakukan pemusnahan massal terencana (pogrom) Kristallnacht dan Program Euthanasia T. 4. Kemudian, dilanjutkan dengan proyek pembentukan pasukan-pasukan pembunuh (killing squads) dan kamp-kamp pemusnahan (extermination camps) yang berniatan memiliki usaha terorganisir secara besar-besaran serta terpusat untuk membantai setiap orang yang menjadi target Adolf Hitler dan pasukan-pasukan Nazi. Ditengarai dari peristiwa dahsyat Holocaust, kebanyakan korbannya adalah orang-orang Yahudi di Eropa. Kira-kira 6 juta orang Yahudi terbunuh pada masa Holocaust. Mereka (orang-orang Yahudi), oleh Nazi disebut “Solusi Final atas Permasalahan Yahudi” (die Endlosung der Judenfrage) atau “pembersihan” (die Reinigung).

Untuk memperlancar misi Holocaust, beragam cara berbau kekejaman dilakukan. Seperti, membangun kamp-kamp kosentrasi dan kerja paksa (1933-1945), penyiksaan (1938-1941), euthanasia (1939-1941), ghetto-ghetto (1940-1945), pasukan-pasukan kematian (1941-1943), kamp-kamp pemusnahan (1942-1945), serta prosesi kematian dan pembebasan (1944-1945). Cara-cara demikian itulah, yang dilakukan oleh para pemimpin Nazi dalam “menghabisi” ras-ras lain selain ras Arya.

Holocaust dan fenomena sejarah mengenai Nazisme, telah menjadi simbol gelap pada kejahatan-kejahatan yang terjadi pada abad ke-20, juga sebagai subyek dari studi-studi sejarah, psikologi, sosiologi, sastra, dan filsafat. Satu pertanyaan filosofis dilontarkan oleh Wilhelm Reich pada awal tahun 1933 di Mass Psychology of Fascism adalah misteri dari ketaatan rakyat Jerman atas operasi yang sangat “gila” tersebut. Karena, pada saat itu kategori oposisi biner dengan dobrakan gila Nazi tak terlalu mencuat. Kemudian, muncullah buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), yang ditulis oleh Hannah Arendt. Dengan begitu, Arendtlah sebagai orang pertama yang berani memproklamirkan sikap dirinya terhadap Nazi, bahwa tindakan Nazi itu adalah “sadisme” dan kental “kekejaman.”

Holocaust FiksiKebenaran berita Holocaust pada saat ini, kuat indikasi mulai dipertanyakan. Benarkah Holocaust ada? Benarkah 6 juta jiwa orang Yahudi terenggut oleh kekejaman Nazi? Ataukah itu hanya sebuah rancangan konspirasi zionis Yahudi untuk membenarkan langkah-langkah politik mereka di panggung dunia? Kumpulan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi centang perenang dan siap menggerus kebenaran Holocaust.

Holocaust denial atau penyangkal Holocaust (biasanya disebut revisionisme Holocaust oleh para pendukungnya) adalah kepercayaan bahwa genocide orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok minoritas lainnya selama Perang Dunia II –masa Holocaust– tak pernah terjadi, atau apabila benar terjadi, akibat yang disebabkan tidak sebesar apa yang diyakini pada masa sekarang. Bahkan, ada dari para penyangkal Holocaust, yang sama sekali tak percaya atas korban pada masa Holocaust, “Bagaimana mungkin 6 juta orang Yahudi dibunuh pada masa Holocaust jika hanya terdapat 3 juta jiwa orang Yahudi saat itu?”

Sebagian besar penyangkalan Holocaust menyatakan secara tidak langsung, bahwa Holocaust adalah sebuah cerita bohong yang dengan sengaja diciptakan oleh orang Yahudi untuk memajukan kepentingan mereka dengan mengorbankan orang lain. (hlm. 81). Karena alasan ini, penyangkalan Holocaust umumnya dianggap sebagai sebuah teori konspirasi anti-semitik (sikap antipati terhadap bangsa Semit, khususnya orang Yahudi).

Penyangkalan Holocaust dipandang secara luas sebagai kegagalan dalam mengikuti peraturan-peraturan perlakuan bukti, peraturan-peraturan yang dikenal sebagai dasar dalam penyelidikan yang rasional. Konsensus yang kuat adalah apabila bukti yang diberikan oleh mereka yang selamat, saksi-saksi mata, dan para sejarawan. Sehingga, kebenaran sejarah disini dipertaruhkaan lewat jangkauan-jangkauan rasio yang masuk akal. Adalah hal yang tidak masuk akal untuk meminta orang-orang memberikan klaim guna membuktikan bahwa bukti-bukti mereka “sungguh nyata” dari kenyataan yang sudah jelas, kecuali ada beberapa alasan khusus yang dapat dipercaya untuk memercayai bahwa bukti-bukti tersebut mencurigakan.

Kendati pun sejarah dimanipulasi, kebenaran Holocaust dipertanyakan, dan diputar balik faktanya tak akan hilang jejak-jejak sejarahnya. Bantuan buku ini menawarkan sisi keseimbangan fakta-fakta Holocaust yang bergelantungan dideret-dideret laci sejarah, sehingga kelesuan yang menggiring terhadap pergulatan politik tak dapat ditambat. Kesejatian sejarah, kalau sudah dibenturkan kepada kepentingan-kepentingan politik akan dapat ditebak telah mengalami kekaburan-kekaburan fakta. Minimal lewat buku ini menghantarkan pemahaman mereka yang ingin mengetahui titik-titik kontroversi akut sejarah Holocaust yang tak lepas dari ruang lingkup syak wasangka kebenarannya.

Kamis, 14 Juni 2012

Sejarah Singkat Imam Nawawi

Nasab Imam an-Nawawi

Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i
Kata ‘an-Nawawi’ dinisbatkan kepada sebuah perkampungan yang bernama ‘Nawa’, salah satu perkampungan di Hauran, Syiria, tempat kelahiran beliau.

Beliau dianggap sebagai syaikh (soko guru) di dalam madzhab Syafi’i dan ahli fiqih terkenal pada zamannya.

Kelahiran dan Lingkungannya

Beliau dilahirkan pada Bulan Muharram tahun 631 H di perkampungan ‘Nawa’ dari dua orang tua yang shalih. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab Fiqih pada sebagian ulama di sana.

Proses pembelajaran ini di kalangan Ahli Hadits lebih dikenal dengan sebutan ‘al-Qira`ah’.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Marakisyi melewati perkampungan tersebut dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa ‘an-Nawawi kecil’ untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudian mengantarkannya kepada ayahnya dan menase-hati sang ayah agar mengarahkan anaknya tersebut untuk menuntut ilmu. Sang ayah setuju dengan nasehat ini.

Pada tahun 649 H, an-Nawawi, dengan diantar oleh sang ayah, tiba di Damaskus dalam rangka melanjutkan studinya di Madrasah Dar al-Hadits. Dia tinggal di al-Madrasah ar-Rawahiyyah yang menempel pada dinding masjid al-Umawy dari sebelah timur.
Pada tahun 651 H, dia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, lalu pulang kembali ke Damaskus.

Pengalaman Intelektualnya

Pada tahun 665 H saat baru berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi ‘Syaikh’ di Dar al-Hadits dan mengajar di sana. Tugas ini tetap dijalaninya hingga beliau wafat.

Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat tiga karakteristik yang sangat menonjol:

Pertama, Kegigihan dan Keseriusan-nya di dalam Menuntut Ilmu Sejak Kecil hingga Menginjak Remaja
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal.
Beliau berhasil menghafal kitab ‘Tanbih al-Ghafilin’ dalam waktu empat bulan setengah.

Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadat dalam kitab ‘al-Muhadz-dzab’ karya asy-Syairazi.
Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau telah berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bilamana berhalangan.

Ke dua, Keluasan Ilmu dan Wawasannya
Mengenai bagaimana beliau memanfa’atkan waktu, seorang muridnya, ‘Ala`uddin bin al-‘Aththar bercerita, “Pertama beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya; ke dua, pelajaran terhadap kitab ‘al-Wasith’, ke tiga terhadap kitab ‘al-Muhadzdzab’, ke empat terhadap kitab ‘al-Jam’u bayna ash-Shahihain’, ke lima terhadap kitab ‘Shahih Muslim’, ke enam terhadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Ibnu Jinny di dalam ilmu Nahwu, ke tujuh terhadap kitab ‘Ishlah al-Manthiq’ karya Ibnu as-Sukait di dalam ilmu Linguistik (Bahasa), ke delapan di dalam ilmu Sharaf, ke sembilan di dalam ilmu Ushul Fiqih, ke sepuluh terkadang ter-hadap kitab ‘al-Luma’ ‘ karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab ‘al-Muntakhab’ karya al-Fakhrur Razy, ke sebelas di dalam ‘Asma’ ar-Rijal’, ke duabelas di dalam Ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya”.

Ke tiga, Produktif di dalam Menelorkan Karya Tulis
Beliau telah interes (berminat) terhadap dunia tulis-menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an.

Dalam karya-karya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya, keunggulan di dalam argumentasinya, kejelasan di dalam kerangka berfikirnya serta keobyektifan-nya di dalam memaparkan pendapat-pendapat Fuqaha‘.

Buah karyanya tersebut hingga saat ini selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap Muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara Dunia Islam.

Di antara karya-karya tulisnya tersebut adalah ‘Syarh Shahih Muslim’, ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab’, ‘Riyadl ash-Shalihin’, ‘ al-Adzkar’, ‘Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat’ ‘al-Arba’in an-Nawawiyyah’, ‘Rawdlah ath-Thalibin’ dan ‘al-Minhaj fi al-Fiqh’.

Budi Pekerti dan Sifatnya

Para pengarang buku-buku ‘biografi’ (Kutub at-Tarajim) sepakat, bahwa Imam an-Nawawi merupakan ujung tombak di dalam sikap hidup ‘zuhud’, teladan di dalam sifat wara’ serta tokoh tanpa tanding di dalam ‘menasehati para penguasa dan beramar ma’ruf nahi munkar’.
  • Zuhud
    Beliau hidup bersahaja dan mengekang diri sekuat tenaga dari kungkungan hawa nafsu. Beliau mengurangi makan, sederhana di dalam berpakaian dan bahkan tidak sempat untuk menikah. Kenikmatan di dalam menuntut ilmu seakan membuat dirinya lupa dengan semua kenikmatan itu. Beliau seakan sudah mendapatkan gantinya.

    Di antara indikatornya adalah ketika beliau pindah dari lingkungannya yang terbiasa dengan pola hidup ‘seadanya’ menuju kota Damaskus yang ‘serba ada’ dan penuh glamour. Perpindahan dari dua dunia yang amat kontras tersebut sama sekali tidak menjadikan dirinya tergoda dengan semua itu, bahkan sebaliknya semakin menghindarinya.
  • Wara’
    Bila membaca riwayat hidupnya, maka akan banyak sekali dijumpai sifat seperti ini dari diri beliau. Sebagai contoh, misalnya, beliau mengambil sikap tidak mau memakan buah-buahan Damaskus karena merasa ada syubhat seputar kepemilikan tanah dan kebun-kebunnya di sana.

    Contoh lainnya, ketika mengajar di Dar al-Hadits, beliau sebenarnya menerima gaji yang cukup besar, tetapi tidak sepeser pun diambilnya. Beliau justru mengumpulkannya dan menitipkannya pada kepala Madrasah. Setiap mendapatkan jatah tahunannya, beliau membeli sebidang tanah, kemudian mewakafkannya kepada Dar al-Hadits. Atau membeli beberapa buah buku kemudian mewakafkannya ke perpustakaan Madrasah.
    Beliau tidak pernah mau menerima hadiah atau pemberian, kecuali bila memang sangat memerlukannya sekali dan ini pun dengan syarat. Yaitu, orang yang membawanya haruslah sosok yang sudah beliau percayai diennya.

    Beliau juga tidak mau menerima sesuatu, kecuali dari kedua orangtuanya atau kerabatnya. Ibunya selalu mengirimkan baju atau pakaian kepadanya. Demikian pula, ayahnya selalu mengirimkan makanan untuknya.

    Ketika berada di al-Madrasah ar-Rawahiyyah, Damaskus, beliau hanya mau tidur di kamar yang disediakan untuknya saja di sana dan tidak mau diistimewakan atau diberikan fasilitas yang lebih dari itu.
  • Menasehati Penguasa dalam Rangka Amar Ma’ruf Nahi Munkar
    Pada masanya, banyak orang datang mengadu kepadanya dan meminta fatwa. Beliau pun dengan senang hati menyambut mereka dan berupaya seoptimal mungkin mencarikan solusi bagi permasalahan mereka, sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus penyegelan terhadap kebun-kebun di Syam.

    Kisahnya, suatu ketika seorang sultan dan raja, bernama azh-Zhahir Bybres datang ke Damaskus. Beliau datang dari Mesir setelah memerangi tentara Tatar dan berhasil mengusir mereka. Saat itu, seorang wakil Baitul Mal mengadu kepadanya bahwa kebanyakan kebun-kebun di Syam masih milik negara. Pengaduan ini membuat sang raja langsung memerintahkan agar kebun-kebun tersebut dipagari dan disegel. Hanya orang yang mengklaim kepemilikannya di situ saja yang diperkenankan untuk menuntut haknya asalkan menunjukkan bukti, yaitu berupa sertifikat kepemilikan.

    Akhirnya, para penduduk banyak yang mengadu kepada Imam an-Nawawi di Dar al-Hadits. Beliau pun menanggapinya dengan langsung menulis surat kepada sang raja.
    Sang Sultan gusar dengan keberaniannya ini yang dianggap sebagai sebuah kelancangan. Oleh karena itu, dengan serta merta dia memerintahkan bawahannya agar memotong gaji ulama ini dan memberhentikannya dari kedudukannya. Para bawahannya tidak dapat menyembunyikan keheranan mereka dengan menyeletuk, “Sesung-guhnya, ulama ini tidak memiliki gaji dan tidak pula kedudukan, paduka !!”.

    Menyadari bahwa hanya dengan surat saja tidak mempan, maka Imam an-Nawawi langsung pergi sendiri menemui sang Sultan dan menasehatinya dengan ucapan yang keras dan pedas. Rupanya, sang Sultan ingin bertindak kasar terhadap diri beliau, namun Allah telah memalingkan hatinya dari hal itu, sehingga selamatlah Syaikh yang ikhlas ini. Akhirnya, sang Sultan membatalkan masalah penyegelan terhadap kebun-kebun tersebut, sehingga orang-orang terlepas dari bencananya dan merasa tentram kembali.

Wafatnya

Pada tahun 676 H, Imam an-Nawawi kembali ke kampung halamannya, Nawa, setelah mengembalikan buku-buku yang dipinjamnya dari badan urusan Waqaf di Damaskus.
Di sana beliau sempat berziarah ke kuburan para syaikhnya. Beliau tidak lupa mendo’akan mereka atas jasa-jasa mereka sembari menangis. Setelah menziarahi kuburan ayahnya, beliau mengunjungi Baitul Maqdis dan kota al-Khalil, lalu pulang lagi ke ‘Nawa’.
Sepulangnya dari sanalah beliau jatuh sakit dan tak berapa lama dari itu, beliau dipanggil menghadap al-Khaliq pada tanggal 24 Rajab pada tahun itu. Di antara ulama yang ikut menyalatkannya adalah al-Qadly, ‘Izzuddin Muhammad bin ash-Sha`igh dan beberapa orang shahabatnya.
Semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat-Nya yang luas dan menerima seluruh amal shalihnya. Amin.


(Diambil dari pengantar kitab Nuzhah al-Muttaqin Syarh Riyadl ash-Shalihin karya DR. Musthafa Sa’id al-Khin, et.ali, Jld. I, tentang biografi Imam an-Nawawiy).
(Abu Hafshoh)

Minggu, 10 Juni 2012

Cara dan Trik Mudah mengunci Facebook

Apakah anda kepingin mengamankan Facebook di rumah atau dikantor supaya anak-anak tidak lalai dengan facebook dan para kariawan giat untuk bekerja.
Kalau mau cara mengunci facebook, ikuti petunjuk berikut ini. Jangan lupa baca Bismillah sebelum memulai supaya lebih berkah oke............
contoh gambar
Buka data “C” window-system 32-drivers-etc. Cari selanjutnya hosts  nah kalau sudah dapat buka dengan notepet .













 Selanjutnya lihat angka yang ini
127.0.0.1       localhost
Dibawah angka diatas isi dengan ( 0.0.0.0 www.facebook.com ) lalu save.

contoh gambar

















Jadi deh, kalau dibuka facebooknya pasti mati alias tidak terbuaka. Ucapkan Alhamdulillah. Menutup youtube tinggal memasukkan ( 0.0.0.0 www.youtube.com
bagaimana kawan. mudahkan,....