Makalah ini saya uploud untuk kawan-kawan yang lagi mempelajari tentang perbandingan mazhab. tapi terlalu singkat.
Kata Pengantar
Berawal dengan untaian puji (hamd) tiada henti kepada Robbul ’Izzati, puja
yang tiada tara kepada dzat Yang Maha Kuasa, dan syukur kepada Allah atas
limpahan rahmat-Nya
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada insan mulia tanpa cela, insan
tarbawi yang mendidik umat manusia menjadi generasi qur’ani dan rabani, insan
utama qudwah hasanah umat manusia, yakni Rasul Muhammad SAW, beserta segenap
keluarganya yang beriman, para shahabat, dan seluruh umat yang istiqamah
mengikuti sunnahnya hingga hari qiyamah.
Makalah ini kami sampaikan dengan judul makalah ” Beda Pedapat tentang Zakat
tanaman dan pangan serta Pelemparan Jumrah dalam Haji ”. Harus kami akui bahwa
tersusunnya makalah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak
yang tidak lelahnya menyisihkan tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan,
pengarahan, dan motivasi hingga titik perjuangan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan apalagi
sampai kepada kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca
senantiasa kami tunggu. Sebagai wujud dari kecintaan kita terhadap ilmu
pengetahuan yang perlu dikembangkan dan diamalkan ibadah untuk mencari ridho
illahi.
A.
Perbedaan Pendapat
Tentang Zakat Tanaman dan Pangan.
Ditinjau dari segi bahasa, kata Zakat memiliki beberapa arti,
yaitu al Barakatu yang berarti Keberkahan, al Namaa ( pertumbuhan dan
perkembangan ), ath Thaharotu ( kesucian ), dan ash shalahu ( keberesan ). Sedangkan
secara istilah, meskipun meskipun ulama’ mengemukakannyadengan redaksi yang
agak berbeda antara satu dengan yang lain, akan tetapi pada prinsipnya sama
yaitu Zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah
mewajibkan kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu.
Hubungan antara pengertian zakat menurut
bahasa dengan menurut Islam. Sangat nyata dan erat sekali yaitu bahwa harta
yang dikeluarkan. Zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang, tambah,
suci dan beres.
1.
Hasil
pertanian yang wajib dizakati
Kewajiban untuk mengeluarkan zakat telah
ditegaskan dalam al Qur’an surat al An’am ayat 141 “ Dan dialah
yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung. Pohon
kurma dan tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa ( bentuk dan warnanya ), dan tidak sama ( rasanya ). Makanlah dari
buahnya ( yang bermacam-macam itu ) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya ( dengan disedekahkan kepada fakir miskin ), dan
janganlah kamu berlebih-lebihan ( al An’am : 141 )
Dalam ayat tersebut di atas ada kalimat
“dan tunaikanlah haknya” oleh ulama ditafsirkan ( ath Thabrani ) dan ulama’
lainnya, bahwa pengertian hak adalah “ zakat “.
Adapun zakat pertanian yangharus dilakukan
terdapat dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, an
Nasa’i, dan Abu Daud yaitu :
“ Yang
dialiri sungai atau hujan, zakatnya 10%, sedangkan yang disirami dengan
pengairan ( irigasi ), zakatnya 5% ( H.R. Ahmad, Muslim, an Nasa’i, dan Abu
Daud ).
2.
Mengenai
jenis hasil pertanian bumi para Ulama’ berbeda pendapat antara lain
Ibnu Umar dan sebagian Ulama’ salaf
berpendapat bahwa zakat yang wajib ada empat jenis tanaman saja, yaitu : hintah
( gandum ), syair ( sejenis gandum ), kurma dan anggur. Karena hanya empat
jenis tanaman itulah yang terdapat dalam hadits.
Imam Malik dan Syafi’I berpendapat bahwa
jenis tanaman yang wajib zakat adalah makanan pokok sehari-hari anggota
masyarakat seperti : beras, jagung, sagu. Selain makanan pokok itu tidak
dikenakan zakat. Oleh Syafi’i dikatakan juga bahwa kurma dan anggur wajib
dikeluarkan zakatnya sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah.
Imam Ahmad berpendapat bahwa biji-bijian
yang kering dan dapat ditimbang ( ditakar ), seperti jagung, kedelai, kacang
tanah, kacang hijau dikenakan zakatnya.
Abu Hanifah berpendapat bahwa semuja
tanaman hasil bumi yang bertujuan untuk mendapat penghasilan diwajibkan
mengeluarkan zakatnya walaupun belum menjadi makanan pokok. Sebagai landasan
beliau adalah surat al Baqarah ayat 267.
Nisab dan besarnya zakat dan buah-buahan
Tanaman hasil bumi yang dapat ditakar
dengan literan dan ada juga yang hanya ditimbang dengan timbangan saja. Bila
ditakar dengan literan, nisabnya 930 liter dan bila ditimbang seberat 750 kg.
sedangkan tanaman yang tidak dapat ditimbang atau ditakar, seperti pete maka
dapat dipertimbangkan dengan harganya. Bila telah sampai nisabnya seharga 93,6
gr dikeluarkan zakat.
Besarnya zakat hasil pertanian berkisar
dua kemungkinan, yaitu 10% ( bila tidak memerlukan biaya ) dan 5% bila
memerlukan biaya yang besar. Jadi zakat yang dikeluarkan adalah :
Az Zuhail dalam al Fiqh al Islamiwa
Adilatuhu mengemukakan berbagai pendapat Madzhab dalam hal zakat pertanian.
Pertama, menurut Imam Abu Hanifah bahwa zakat itu harus dikeluarkan dari semua
jenis tanaman yang tumbuh di bumi, baik jumlahnya sedikit walaupun banyak,
kecuali kayu bakar, rerumputan, bambu parsi yang biasa dipergunakan.
Ibnu Rusyid berkata, "Sebab-sebab munculnya
perselisihan (pendapat) diantara ulama yang membatasi wajibnya zakat pada
jenis-jenis yang telah disepakati bersama dan pihak yang meluaskannya pada
segala yang dapat disimpan dan menjadi makanan, ialah bersumber dari
dikaitkannya zakat kepada jenis yang empat adalah apakah karena dzatnya ataukah
karena illat (alasan)nya sebagai bahan pahan.
Golongan yang mengatakan karena dzatnya, membatasi
wajib zakat hanya kepada jenis yang empat saja, sedangkan pihak yang
berpendapat disebabkan fungsinya sebagai bahan pangan, meluaskan hukum wajibnya
kepada semua bahan pangan.
Mengenai sebab-sebab perselisihan diantara golongan
yang membatasi wajibnya zakat pada bahan pangan dengan golongan yang
meluaskannya kepada semua yang dihasilkan bumi -kecuali atas apa yang telah
disepakati bersama seperti kayu bakar, rumput dan sebangsa pimping- adalah
disebabkan perbedaan qiyas dengan keumuman lafadz.
Adapun lafadz yang menyatakan umum itu ialah sabda
Nabi SAW yang artinya: 'Pada apa yang disiram oleh air hujan, wajib zakat
sepersepuluhnya dan pada tanaman yang diairi dengan alat penyiram seperdua
puluh".
Kata "Apa pun" adalah kata yang umum.
Demikian pula firman Allah Ta'ala yang artinya, "Dan Dialah yang telah
menumbuhkan kebun-kebun yang berdaun rimbun", sampai kepada ayat "Dan
hendaklah kamu keluarkan zakatnya waktu memanen".
Adapun qiyas adalah karena tujuan zakat untuk menutup
kebutuhan perut dan hal ini tidak mungkin -umumnya- kecuali dengan bahan
pangan. Maka orang yang membatasi kata-kata yang umum tadi dengan qiyas ini
menggugurkan zakat pada tanaman yang tidak termasuk bahan pangan.
Sebaliknya golongan yang mempertahankan makna kata-kata umum, mewajibkan
pada tanaman-tanaman lain, kecuali yang telah disepakati bersama (ijma').
Kemudian golongan yang sepakat tentang bahan pangan,
masih berbeda pendapat mengenai beberapa tanaman, hal ini dikarenakan
perselisihan meraka apakah itu merupakan bahan pangan atau tidak dan apakah
diqiyaskan kepada tanaman yang telah disepakati atau tidak diqiyaskan. Misalnya
perselisihan Syafi'i dengan Malik tentang zaitun. Malik mengatakan wajib
dizakati, sedangkan Syafi'i dalam pendapatnya yang mutakhir di Mesir
menentangnya. Hal ini disebabkan tidak lain karena perselisihan pendapat mereka
apakah zaitun itu merupakan tanaman untuk bahan pangan atau bukan.
A.
Perbedaan Pendapat
Tentang Melontar Jumrah Dalam Haji
1.
Pengertian Haji
Orang-orang Arab pada zaman jahiliah telah mengenal
ibadah haji ini yang mereka warisi dari nenek moyang terdahulu dengan melakukan
perubahan disana-sini. Akan tetapi, bentuk umum pelaksanaannya masih tetap ada,
seperti thawaf, sa'i, wukuf, dan melontar jumrah. Hanya saja pelaksanaannya
banyak yang tidak sesuai lagi dengan syariat yang sebenarnya. Untuk itu, Islam
datang dan memperbaiki segi-segi yang salah dan tetap menjalankan apa-apa yang
telah sesuai dengan petunjuk syara' (syariat), sebagaimana yang diatur dalam
al-Qur'an dan sunnah rasul.
Latar belakang ibadah haji ini juga didasarkan pada
ibadah serupa yang dilaksanakan oleh nabi-nabi dalam agama Islam, terutama nabi
Ibrahim (nabinya agama Tauhid). Ritual thawaf didasarkan pada ibadah serupa
yang dilaksanakan oleh umat-umat sebelum nabi Ibarahim. Ritual sa'i, yakni
berlari antara bukit Shafa dan Marwah (daerah agak tinggi di sekitar Ka'bah
yang sudah menjadi satu kesatuan Masjid Al Haram, Makkah), juga didasarkan
untuk mengenang ritual istri kedua nabi Ibrahim ketika mencari susu untuk
anaknya nabi Ismail. Sementara wukuf di Arafah adalah ritual untuk mengenang
tempat bertemunya nabi Adam dan Siti Hawa di muka bumi, yaitu asal mula dari
kelahiran seluruh umat manusia.
Haji adalah rukun Islam yang kelima setelah
syahadat, salat, zakat dan puasa. Menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual
tahunan yang dilaksanakan kaum muslim sedunia yang mampu (material, fisik, dan
keilmuan) dengan berkunjung dan melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa
tempat di Arab Saudi pada suatu waktu yang dikenal sebagai musim haji (bulan
Zulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang bisa dilaksanakan
sewaktu-waktu.
2.
Pengertian Melontar
Jumrah
Melontar jumrah adalah salah satu wajib haji.
Jama’ah yang tidak melontar wajib membayar Dam (denda) berupa seekor kambing.
kalau tidak mampu boleh membayar Fidyah atau berpuasa 10 hari yaitu 3 hari
dimasa haji di tanah suci dan sisanya di tanah air.
Waktu
melontar mulai setelah lewat tengah malam sampai terbenam matahari, sedangkan utamanya
pada waktu duha (pagi setelah matahri terbit). Pada tanggal 10 Zulhijah (Hari
Nahr) jema’ah haji hanya melontar 1 jumrah saja yaitu jumrah Aqabah.
Kemudian pada hari-hari Tasyrik yang lain,
yaitu pada tanggal 11, 12, 13 Zulhijah yang dilontar adalah ketiga-tiganya
(Ula, Wusta, dan Aqabah). Melontar dimulai sesudah masuk waktu Zuhur atau
sesaat tergelincirnya matahari sampai terbit besok pagi. Jumrah yang terletak
paling dekat dengan Mekah disebut jumrah Aqabah, letaknya diatas perbukitan
Aqabah.
Jumrah
Artinya tempat pelemparan, yang didirikan untuk memperingati saat nabi Ibrahim
digoda oleh setan agar tidak melaksanakan perintah Allah menyembelih putranya
Ismail. Tiga kali beliau digoda tiga kali pulaia melontarkan batunya kepada
setan sebagaimana diperintah dab dibimbing langsung oleh malaikat. Ditempat –
tempat inilah kemudian dibangun Tugu – tugu dengan nama Ula, Wusta, dan Aqabah.
Jumrah Ula (jumrah pertama), disebut juga
‘Jumrah Surgha’ ( jumrah yang kecil ) terletak dekat mesjid Khaif.
Jumrah Wusta
(jumrah kedua), disebut juga ‘Jumrah Tsaniyah’ ( jumrah yang sedang ) terletak
diantara kedua jumrah yaitu Jumrah Ula dan Jumrah Aqabah.
Jumrah
Aqabah (jumrah ketiga), yang disebut juga ‘Jumrah Tsalitsah’ ( Jumrah yang
besar ) berada dipintu gerbang Mina.
3.
Perbedaan Pendapat
Imam Syafi’I Melontar jumrah, yaitu Jumrah Aqabah saja
pada hari nahr (tanggal 10 dzulhijjah) dan melontar ketiga setiap hari pada
hari-hari tasyriq yang tiga, yaitu tiga hari setelah hari nahr (tanggal 11, 12,
13 dzulhijjah). Waktu untuk melontar itu masuk mulai pertengahan
malam nahr, dengan syarat sebelumnya telah berwukuf, dan berlangsung hingga
hari tasyriq.
Imam Hanafi waktu melontar jumrah Aqabah
mulai fajr Nahr hingga fajar hari kedua. Melakukan lebih awal dari waktu itu
tidak sah, sedang melakukan setelah batas tadi, berarti harus membayar dam.
Kegiatan melontar ini Mustahabb dilaksanakannya setelah terbitnya matahari
hingga waktu zawal (matahari tergelincir). Melaksanakan setelah waktu ini boleh
hingga matahari terbenam. Sedang melaksanakannya pada malam hari hukumnya
makruh, sebagaimana juga dimakruhkan melakukannya setelah terbit fajar hinga
terbit matahari pada hari Nahr. Kemudian pada hari kedua pada hari Nahr
hendaklah melontar jumrah yang tiga. Dan disunnatkan melontar memulai dari
jumrah Ula (jumrah yang pertama), yaitu yang terdapat di dekat Mesjid Khaif,
kemudian jumrah Wusta dan berikutnya jumrah Aqabah. Pada setiap jumrah dilontar
tujuh kali dengan cara yang telah dikemukakan terdahulu. Jika aturan terti ini
ia balik, misalnya dengan melontar jumrah Wustha sebelum jumrah Ula, maka
disunnatkan mengulang lagi lontarannya. Setelah menyempurnakan lontaran yang
setelahnya disusul dengan lontaran lain, disunnahkan berdiri (tenang) selama
membaca ¾ juz’ dari Al-Qur’an, yaitu sekitar 1/3 jam (20 menit).
Imam Hambali Adapun waktu untuk
melontar, adalah dari tengah malam Nahr (10 dzulhijjah) bagi orang yang sudah
berwukuf dari sebelumnya di Arafah. Melontar itu tidak sah
dilakukan pada hari-hari tasyriq kecuali setelah tergelincirnya matahari.
Imam Maliki Adapun
waktu untuk melontar pada setiap harinya, mulai tergelincirnya matahari
(zawal), maka yang demikian itu tidak cukup; dan ia wajib membayar dam bila
tidak mengulangnya lagi setelah zawal. Jika ia tunda sampai malam atau samapai hari kedua, maka ia wajib membayar
dam. Melontar itu mandub dilaksanakan sebelum melaksanakan shalat zhuhur
pada setiap harinya.
Diriwayatkan
dari Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wa
sallam, bahwa beliau ditanya di hari raya (tanggal 10 Dzulhijjah) dan bukan
pada hari tasyriq, di mana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari bahwa seorang
sahabat berkata: ‘Saya melontar Jumarah setelah sore hari.’[1]Maksudnya ia melontar Jumrah di akhir siang (sore
hari) dan ini sudah cukup (boleh) menurut pendapat para
ahli. Apabila ia melontar jumrah di sore
hari pada hari lebaran, setelah shalat Zhuhur atau setelah shalat
‘Ashar maka tidak mengapa. Tetapi bukan berarti bahwa ia melontar Jumrah di
malam hari, karena ia bertanya sebelum
tiba malam hari.
Adapun melontar jumrah setelah malam hari, maka para
ulama berbeda pendapat: di antara mereka ada yang berpendapat bahwa itu sudah
cukup dan ini merupakan pendapat yang cukup kuat. Yang lain berkata: Apabila
sudah terbenam matahari, tidak boleh melontar jumrah aqabah namun ia menundanya
dan melontar Jumrah setelah tergelincir matahari di hari ke sebelas, akan
tetapi ia melontar jumratul aqabah sebelum melontar
jumrah-jumrah yang lain di hari yang ke sebelas. Inilah yang disyari’atkan
menurut pendapat para ulama.
Namun setiap muslim harus
bersungguh-sungguh dan mengusahakan sehingga ia bisa melontar jumrah aqabah di hari lebaran, seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah Salallahu’alaihi wa sallam
dan para sahabatnya. Demikian pula di hari-hari
berikutnya jika tidak sempat melontar jumrah setelah gelincir matahari dan
sebelum terbenam matahari, maka tidak mengapa
ia melontar jumrah setelah terbenam matahari hingga akhir malam, menurut
pendapat yang shahih.
0 komentar:
Posting Komentar
komen disini