Menjadi minoritas bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi jika itu
terkait keyakinan. Dibutuhkan ketahanan mental, keyakinan yang kuat
serta kemampuan beradaptasi yang ekstra untuk tetap eksis sebagai
minoritas. Itulah kira-kira tantangan yang dihadapi oleh para pemain
bola Muslim di kancah persepakbolaan Eropa. Dalam beberapa momentum,
misalnya yang paling mencolok saat Ramadhan, mereka dituntut untuk tetap
menjadi Muslim sejati sekaligus professional di lapangan. Bayangkan,
mereka harus berpuasa sambil bertanding bola.
Namun,
eksistensi Muslim di kesebelasan-kesebelasan Eropa kian semakin
mencolok. Dalam Piala Eropa 2008 lalu, tercatat begitu banyak pemain
Muslim yang berkiprah di lapangan hijau. Bahkan, konon Piala Eropa 2008
lalu mencatat rekor sebagai Piala Eropa dengan pemain Muslim terbanyak,
walau tanpa harus memasukkan para pemain Turki yang notabene
memang mayoritas Muslim. Sehingga, jika para pemain Muslim yang
bertebaran di berbagai negara Eropa itu dikumpulkan, tercatat akan bisa
membentuk kesebelasan sendiri beserta cadangannya. Dalam posisi kiper,
ada nama Muslim Rami Shaaban (Swedia) dan Eldin Jakupovic (Swiss). Di
posisi bek ada Renat Yanbayev (Rusia), Khalid Boulahrouz (Belanda) dan
Eric Abidal (Prancis). Adapun di posisi gelandang ada nama Darijo Srna
(Kroasia), Franck Ribery (Prancis), Samir Nasri (Prancis), Lassana
Diarra (Prancis), Ibrahim Affelay (Belanda), Diniyar Bilyaletdinov
(Rusia) dan Valon Behrami (Swiss). Sedangkan di posisi depan ada Robin
Van Persie (Belanda), Nicolas Anelka (Prancis) dan Karim Benzema
(Prancis).
Para pemain Muslim di kancah Eropa itu bukan hanya hadir
sebagai pelengkap di timnya. Namun, mereka bermain sebagai andalan
pelatih dan bintang lapangan. Lihat saja Robin Van Persie di Belanda dan
di klubnya Arsenal. Atau, dulu lihatlah Zinedine Zidane di Prancis
dicatat sebagai pemain yang berhasil membawa Prancis memanangi Piala
Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 dan menjadi pemain dengan nilai transfer
termahal di klub saat ditransfer dari Juventus ke Real Madrid.
Selain
itu, para pemain Muslim di kancah Eropa juga dikenal sebagai pemain
yang memiliki sportifitas yang tinggi dan juga idealisme yang kokoh.
Misalnya, Zidane dikenal sebagai pemain yang sangat santun dan spotif
hingga ia pernah meraih gelar Pemain Terbaik Dunia. Namun, ketika
idealismenya diusik oleh Materazzi pada Final Piala Dunia 2006 dengan
melontarkan kata-kata rasis, ia langsung mengambil tindakan tegas dengan
menyundul dada Materazzi tanpa peduli pada kartu merah. Atau, lihatlah
Frederic Kanoute (pemain Muslim asal Mali yang bermain di Sevilla,
Spanyol) yang memilih tetap berpuasa saat bertanding di Bulan Ramadhan
serta membeli dan mewakafkan sebuah bangunan masjid di Sevilla, Spanyol,
yang oleh pemiliknya hendak dijual pada Desember 2007 karena bangunan
yang saat itu disewa dan dijadikan masjid oleh komunitas Muslim Sevilla
itu telah habis masa kontraknya. Walau sangat getol membela Sevilla, namun ia tiba-tiba tak mau bermain saat klubnya itu memajang nama situs judi online yang
menjadi sponsor utama Sevilla saat itu. Kanoute juga tak peduli
mendapat hukuman saat menyampaikan pesan dukungannya terhadap rakyat
Palestina yang tertindas di Gaza saat serangan brutral Israel melalui
kaos bertulis “Palestina” dalam selebrasinya setelah ia mencetak gol.
Idealisme
yang kokoh itu menunjukkan bahwa para pemain Muslim itu tak hanya
memeluk Islam secara simbolik dan memahaminya sebagai atribut belaka.
Namun, kata Ribery, “Islam adalah sumber kekuatan saya di dalam dan
di luar lapangan. Saya mengalami kehidupan yang cukup keras dan saya
harus menemukan sesuatu yang membawa saya pada keselamatan. Hingga
kemudian saya menemukan Islam.” Begitulah mereka memahami Islam.
0 komentar:
Posting Komentar
komen disini