Saya dibesarkan dalam sebuah keluarga kristen dengan aliran yang
berbeda-beda. Ibu saya adalah seorang penganut setia Katolik Roma. Ia
menerima lamaran ayah saya dengan terlebih dahulu memaksanya berjanji di
hadapan pendeta bahwa mereka akan membesarkan anak-anak mereka sebagai
penganut Katolik. Ayah saya menerima syarat itu, sekalipun ia penganut
setia Mormon, cabang Kristen.
Akhirnya kami yang lahir
dari mereka berada di tengah-tengah faham Kristen. Paman saya pernah
bergurau mengapa saya menjadi muslim.
Menurutnya, hal itu saya lakukan karena tidak dapat memutuskan untuk memilih keyakinan ayah atau ibu saya. Paman saya tidak tahu bahwa saya memeluk Islam setelah melewati pencarian yang lama.
Menurutnya, hal itu saya lakukan karena tidak dapat memutuskan untuk memilih keyakinan ayah atau ibu saya. Paman saya tidak tahu bahwa saya memeluk Islam setelah melewati pencarian yang lama.
Ibu saya adalah seorang yang kuat
dalam mengamalkan agamanya. Tidak ada satu hari kami tidak mendengar
nyanyian riang doa hariannya, atau ia mengingatkan kami akan Tuhan.
Ayah saya tidak pernah menyuarakan keimanannya, walaupun pada
hakikatnya ia begitu patuh pada ajarannya. Jika saya atau adik-adik saya
terlibat dengan sebarang masalah, kami akan menyelesaikannya sendiri.
Saya tidak menyadari sejauh mana amalan mereka memberikan kesan kepada
saya sehinggalah saya lulus dari sekolah tinggi. Pada hari-hari terakhir
saya di sekolah Tinggi Folsom,Tuhan memberikan ujian terbesar ke atas
keluarga saya.
Ibu saya, yang sebelum ini mengidap
tumor yang kronik telah didiagnosa dengan kanker perut yang langka. Para
dokter tidak bisa memberi harapan lagi buatnya. Dengan semangat tinggi,
ibu menghadiri sesi kemoterapi walaupun akibat dari rawatan tersebut,
rambutnya gugur. Ia juga turut mendapat rawatan-rawatan lain.
Ia bertekad untuk melihat anak-anaknya besar. Anggota keluarga
memberikan dukungan penuh padanya. Semua anak-anak berada di sisinya.
Terutama adik perempuan saya yang terkecil.
Ketika itu
saya berusia 17 tahun, saya tidak tahu bagaimana saya bisa membantu
untuk mengurangi kesakitan ibu. Sekolah tinggi tampaknya menambahkan
masalah yang sudah ada, dengan tekanan dan rekan-rekan yang tidak
memberi dukungan, saya merasa kecewa dan malu terhadap ketidakmampuan
saya untuk mengubah kondisi ibu. Saya sering meninggalkan rumah untuk
berpikir sendirian atau saya berpura-pura seolah-olah saya tidak punya
masalah sedikitpun.
Ketika kasur rumah sakit dipindah
ke rumah, saya baru tersadar tidak memiliki waktu untuk bersamanya. Saya
harus membuat ibu paham bahwa saya amat menyayanginya. Karena saya
bimbang tidak punya kesempatan lain.
Suatu petang,
ketika saya merasakan bahwa saya punya peluang untuk bersama ibu
sendirian, saya berdiri di sisi kasurnya. Ia kelihatan kurus sekali dan
terdapat tabung oksigen untuk membantu pernafasannya, tetapi saat itu ia
melihat saya. Ibu tersenyum lebar seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Saya berdiri di situ beberapa menit. Walaupun mungkin hanya beberapa
detik berlalu, saya merenunginya. Matanya bersinar dengan cinta dan
optimisme. Sebuah senyuman yang tidak ada tandingannya. Dalam menghadapi
ujian terbesar dalam hidup, ia kelihatan tangguh melawannya. Satu
kekuatan yang tidak saya miliki.
Saya memberitahu ibu
bahwa saya menyayanginya. Senyumannya semakin lebar, seakan merasakan
mengapa saya memilih waktu itu untuk melahirkan perasaan saya. Ia
menarik dirinya ke depan dan mengatakan bahwa saya tidak perlu bimbang,
semuanya akan selesai. Saya dapat merasakan keyakinannya terhadap apa
saja yang direncanakan Tuhan untuknya, dan kata-kata tersebut
meninggalkan kesan di hati saya.
Beberapa pekan kemudian, adik saya mengetuk pintu kamar untuk menyampaikan berita tentang kematian ibu kami.
Ibu saya adalah seorang sahabat setia, saudara penyayang, anggota masyarakat yang masyarakat dan juga seorang ibu yang penuh dedikasi. Pemakamannya dihadiri oleh ratusan anggota keluarga dan sahabat handai taulan. Setiap dari mereka mengatakan tentang kebaikan ibu saya.
Sepatah kata yang telah mengubah hidup saya selamanya. Ketika pendeta
memberikan pidatonya, ia meminta setiap dari kami memikirkan sifat ibu
saya yang paling kami hargai, dan menerapkan sifat tersebut dalam diri
kita. "Itu adalah warisannya," kata sang pendeta.
Saya
langsung saja tahu apa yang paling saya hargai, yaitu kekuatan batin
dan jiwanya yang membenarkan dirinya menjadi begitu optimis dan
mencintai walaupun terpaksa menempuh ujian dan kesukaran hidup. Saya
tahu benar bahwa kekuatan tersebut bersumber dari keimanannya yang kokoh
terhadap Tuhan. Saya benar-benar ingin mencari kekuatan yang sama,
tetapi ia hanya akan datang dengan pencarian saya terhadap keyakinan
yang saya pasti terhadapnya.
Saya tidak ingat apakah
dalam hidup ini saya pernah tidak mempercayai Tuhan, walaupun banyak
kali saya rasa melakukan kesalahan karena mengkritik Tuhan. Ibu saya
membesarkan kami dalam ruang Katolik, tetapi saya tidak pernah paham
mengapa kita harus memanggil ruh kudus apabila kita diajar bahwa Tuhan
Maha Berkuasa dam saya kesulitan untuk menerima manusia sebagai pencipta
saya.
Bukan tidak ada keimanan dalam hari saya
terhadap Tuhan, tetapi saya tidak tahu bagaimana untuk memahami-Nya.
Terinspirasi dengan seorang tokoh sejarah pada usia 18 untuk sukses pada
usia 23, saya membuat perjanjian untuk mencari jalan yang benar – apa
saja hasilnya- pada usia yang sama.
Saya mulai membaca
Injil. Saya membagi pertanyaan tentang Tuhan dengan teman-teman saya,
tetapi mereka tampaknya tidak serius tentang agama. Dengan hati yang
terbuka saya berusaha mencari titik terang dalam Injil.
Tanpa sebarang kepastian, saya membiarkan Injil bercakap sendirian. Di
celah-celah ayat saya menemukan garis panduan etika, sejarah dan
informasi geneologikal. Saya percaya dengan para nabi Tuhan, saya
menyukai kata-katanya, tetapi mempercayai Nabi Isa sebagai Tuhan adalah
konsep yang paling sulit untuk saya terima.
Saya ingin
sekali mempercayainya, tetapi saya tidak dapat memaksa diri saya untuk
menerimanya. Merasa kehilangan, suatu malam saya meminta Tuhan
memberikan saya kepercayaan bahwa Nabi Isa adalah Tuhan. Untuk seketika
saya merasa bahwa ia adalah benar, tetapi kemudian ia segera sirna. Saya
mula mencari keyakinan dalam agama lain.
Saya
menyelami Hinduisme, Hara Krishna, Era baru, dan Buddhisme. Mereka
menawarkan kata-kata dan kisah-kisah indah yang menjelaskan upaya
orang-orang bermoral, sayangnya saya tidak dapat menemukan sesuatu yang
bisa memberikan saya sedikit kepastian.
Meditasi dan
fokus ke atas pengawalan diri dalam Buddhisme memberikan sejenis amalan
yang lebih jelas dalam kepercayaan lain yang saya pelajari, tetapi
perwujudan Tuhan yang saya cari tidak ada dalam ajaran ini.
Selepas memikirkan apa yang harus saya lakukan dengan semua agama
tersebut, saya serahkan kepada Tuhan karena apa yang saya inginkan telah
disimpangkan oleh tangan-tangan manusia atau disalahartikan oleh
penganutnya. Saya percaya bahwa kebenaran hanya dapat ditemui dengan
memisahkan semua tambahan manusia dengan meneliti dan mengkajinya secara
jujur. Masih tidak pasti dengan apa yang patut saya yakini, saya
meninggalkannya kepada Tuhan, semoga Dia dapat membantu saya
menemui-Nya.
Saya bernasib baik saat seorang teman
mengundang saya untuk tinggal bersamanya di Santa Barbara, California.
Kami benar-benar menghargai ide menjauhkan diri dari teman-teman lama
yang mengkritik upaya kami. Kami mencari Tuhan dan diri kami sendiri.
Saya baru berusia 21 tahun, dan melihat tawaran ini sebagai peluang
untuk saya mengumpulkan waktu saya mencari Tuhan sebelum berusia 23
tahun, lantas memenuhi janji yang saya buat sendiri.
Tinggal jauh dari rekan dan keluarga memberi peluang kepada saya untuk
menilai diri dan bertemu dengan orang-orang yang mempunyai minat yang
sama. Di sini saya bertemu dengan berbagai ragam manusia yang saling
bertukar ide; sebagian kelihatan amat indah, manakala sebagian lagi
menyebabkan saya menyoal visi realita mereka. Saya menyukai pembahasan
mengenai keyakinan, tetapi saya tidak menemukan apa-apa yang baru yang
dapat menawarkan sesuatu yang bisa saya pegang.
Saya
ingin mengetahui kebenaran yang bisa saya pegang, bukan sekadar
percakapan tentang apa itu kebenaran. Walaupun saya bertambah informasi,
sayangnya saya masih tidak menemukan pegangan yang saya cari di Santa
Barbara.
Saya kembali ke rumah saya di Sacramento dan
dengan beberapa bulan lagi usia saya akan mencapai 23 tahun, saya mula
merasa kehilangan dan depresi. Perjanjian paling penting yang saya buat
tampaknya tidak dapat dipenuhi. Merasa kecewa, saya berhenti membaca
sebarang buku agama, dan mulai membaca peristiwa-peristiwa kotemporer.
Saya begitu berminat untuk mengetahui lebih banyak mengenai konflik
Timur Tengah, terutamanya bumi suci. Saya pergi ke toko buku lokal, dan
membeli sebuah buku tentang konflik Israel dan Palestina yang kononnya
menganut agama yang mengajar manusia kekerasan dan kebencian. Penulis
begitu ingin memperlihatkan bahwa agama ini merupakan problema di Timur
Tengah, tanpa mengetahui apa-apa tentang agama ini, saya percaya saja
dengan apa yang ingin disampaikan oleh sang penulis.
Dalam pembahasan, saya akan merujuk kepada penulis, bahwa agama Islam
adalah sebuah agama yang tidak punya toleransi. Saya melakukannya
sehingga seorang rekan yang baik menyoal saya jika saya sadar bahwa saya
hanya berprasangka. Ia benar, sebenarnya saya hanya tahu Islam dari
buku yang saya baca.
Saya mula bertanya lebih kepada
pengurus toko saya, Danyelle yang telah memeluk Islam. Ia memberikan
saya sebuah al-Quran, dan suaminya, Jabari menyarankan saya bertemu
mereka di rumah mereka untuk berbahas lebih lanjut.
Untuk sebulan setengah, saya menemui mereka setiap malam Jumat dan
bercakap-cakap dengan mereka tentang agama. Mereka sangat dermawan,
menghidangkan makan malam setiap kali saya datang, dan menjawab
pertanyaan saya tanpa menyingkirkan apa yang saya percaya.
Saya sendiri telah membaca sebagian dari Quran sebelum ini, tetapi kini
dengan ada orang untuk menjawab pertanyaan saya, hati saya terbuka, dan
saya benar-benar berusaha untuk memahami apa yang tersirat dalamnya.
Al-Quran merupakan sebuah kitab yang unggul dari apa yang pernah saya
baca selama ini. Jauh dari intoleransi, malah isinya begitu seimbang. Ia
sering mengingatkan tentang peraturan bermasyarakat dan kasih sayang
yang semuanya masuk akal. Ayat-ayatnya mengungkapkan pengetahuan yang
dalam tentang perilaku manusia. Konsep benar yang saya temui dalam buku
lain terdapat dalam al-Quran, jikapun ia berbeda, saya temui bahwa
al-Quran sebenarnya lebih dapat diterima.
Selepas 6 pekan melakukan diskusi dan pembacaan, akhirnya saya yakin bahwa al-Quran adalah wahyu Allah Swt.
Pada tanggal 25 Februari, hari Jumat, saya membuat pengakuan bahwa saya
akan memeluk Islam. Pada hari Ahadnya, saya dengan penuh kesadaran
mengucapkan dua kalimat Syahadah.
Saat matahari terbit
hari berikutnya, sedang saya memikirkan tentang keimanan baru saya,
saya teringat bahwa hari itu adalah hari lahir saya yang ke 23 dan
Tuhanlah yang telah membantu saya untuk memenuhi janji yang saya
perbuat. Setelah segala pencarian, Tuhan mengungkapkan kepada saya
sebuah keimanan yang sebelum ini tidak terlintas dalam benak saya, dan
ini merupakan hadiah yang terbesar buat diri saya.
Setiap kali saya membaca al-Quran atau mempelajari sesuatu yang baru
darinya, semua itu hanya membuat iman saya bertambah. Inilah yang ingin
saya cari selama ini, dan inilah yang memberikan saya kekuatan yang
selayaknya buat saya hari ini.
0 komentar:
Posting Komentar
komen disini