Piagam hak asasi manusia menekankan bahwa seluruh manusia terlepas
dari warna kulit, kebangsaan, dan agama, memiliki hak yang sama. Dalam
kondisi yang tidak adil, hak-hak sebagian orang pasti akan terkorbankan
dan terlecehkan. Di AS, praktik diskriminasi ras adalah fenomena yang
sudah ada sejak dahulu. Dengan demikian, di AS hak asasi sering
diabaikan.
Sampai 150 tahun yang lalu, praktik
penjualan budak-budak kulit hitam yang didatangkan dan diculik dari
Afrika marak terjadi di AS. Budak-budak itu diperjualbelikan untuk
dipekerjakan di ladang-ladang atau di rumah-rumah. Kesalahan sekecil
apapun yang dilakukan seorang budak harus dibayar mahal dengan rasa
sakit penyiksaan atau bahkan nyawa diri dan keluarganya. Sampai kinipun,
sisa-sisa dari perlakuan yang tidak manusiawi itu masih terlihat di
tengah masyarakat AS.
Di AS, undang-undang kesamaan
hak tidak banyak dihiraukan dan diskriminasi ras dapat disaksikan di
seluruh sisi kehidupan sosial. Orang-orang kulit hitam dan kelompok
minoritas adalah korban praktik diskriminasi yang terjadi secara luas di
sana. Bagi warga kulit hitam, pengadilan justeru menjadi lembaga yang
tidak adil. Kondisi kehidupan dan kesejahteraan warga kulit berwarna
juga mengenaskan. Mereka rata-rata hidup di bawah standar kesejahteraan.
Kantor Statistik di AS dalam laporan yang dirilis tanggal 26 Agustus
2008 menyatakan, pendapatan rata-rata warga AS tahun 2007 mencapai
20.233 USD setahun. Pendapatan pertahun warga kulit putih tercatat
sebesar 54,920 USD, warga Spanish 38.676 USD, dan warga kulit hitam
33.916 USD. Seperempat komunitas kulit hitam di AS hidup di bawah garis
kemiskinan, atau tiga kali lipat dari jumlah warga kulit putih yang
hidup dalam kondisi yang sama.
Di bagian lain, warga
kulit hitam dan kulit berwarna di AS sulit untuk memperoleh pekerjaan
karena praktik diskriminasi luas di negara itu. Akibatnya, angka
pengangguran di antara warna minoritas lebih tinggi dibanding warga
kulit putih. Tercatat, 15 persen dari angka pengangguran terkait warga
kulit hitam, 13 persen warga spanish dan 9 persen warga kulit putih. Di
antara remaja dan pemuda kulit hitam usia 16-24 tahun, tercatat hampir
34 persen tidak bekerja. Angka ini adalah tiga kali lipat dari angka
rata-rata pengangguran di AS.
Pengangguran di kalangan
kelompok terpelajar dari komunitas kulit hitam juga mencapai dua kali
lipat dari kasus yang sama di antara warga kulit putih. Di penghujung
tahun 2009, meski tercatat 27 persen dari jumlah penduduk kota New York,
warga kulit hitam dan Spanish tidak memperoleh peluang kerja yang
cukup. Dari 11.529 lapangan kerja di lembaga pemadam kebakaran, warga
kulit hitam hanya memperoleh 3 persennya sementara warga Spanish
mendapatkan 6 persen.
Di bagian lain, media massa
sering menggambarkan sisi negatif dari kehidupan warga kulit berwarna.
Hal ini jelas menimbulkan masalah sosial dan kesulitan bagi mereka di
tengah masyarakat yang mayoritasnya berkulit putih. Misalnya, untuk bisa
menyewa rumah, warga kulit berwarna mesti menyisihkan lebih banyak uang
dibanding warga mayoritas. Masalah itu semakin komplek ketika angka
penderita penyakit AIDS yang mematikan itu lebih tinggi di antara warga
keturunan Afrika.
Hasil riset dinas kesehatan dan
keselamatan jiwa kota New York pada bulan Agustus menunjukkan bahwa dari
semua kasus HIV yang terjadi tahun 2006 di New York, 46 persennya
terkait warga kulit hitam sementara 32 persen terkait warga Spanish.
Kerentanan perempuan negro terhadap penyakit AIDS 15 kali lebih besar
dibanding perempuan kulit putih. Penyebabnya adalah kesejahteraan yang
kurang terjamin, layanan kesehatan yang minim,dan tempat tinggal yang
kurang memadai yang didapatkan oleh warga minoritas. Jika diskriminasi
ras tidak mengakar kuat di AS, tentu nasib warga kulit hitam tidak akan
separah ini.
Diskriminasi ras juga terjadi di
lingkungan sekolah dan lembaga pendidikan. Misalnya, Lembaga Nasional
New York tahun 2008 menerbitkan laporan tingkat pendidikan menengah atas
di kalangan warga kulit hitam dan angka mereka ke perguruan tinggi saat
ini masih jauh di bawah tingkat pendidikan warga kulit putih tiga
dekade yang lalu. Lebih dari setengah warga minoritas etnis meninggalkan
bangku sekolah sebelum menyelesaikan pendidikan menengah atas.
Sementara, 53 persen kulit hitam yang lulus SMU tidak melanjutkan ke
pendidikan tinggi. Akibatnya, warga minoritas yang menyelesaikan
pendidikan tinggi jauh lebih kecil dari warga kulit putih. Antara tahun
2003 sampai tgahun 2008, 61 persen calon mahasiswa kulit hitam dan
keturunan Spanyol ditolak masuk fakultas hukum. Padahal untuk warga
kulit putih angka itu hanya mencapai 34 persen.
Riset lainnya yang dilakukan terhadap lima ribu anak di kota Birmingham
dan Los Angeles menunjukkan bahwa 20 persen anak kulit hitam dan 15
anak Spanish menjadi korban diskriminasi ras. Riset ini memperlihatkan
bahwa diskriminasi ras adalah faktor paling dominan bagi berbagai
penyakit kejiwaan di tengah anak-anak minoritas di AS. Kerentanan
anak-anak keturunan Spanyol terhadap penyakit kejiwaan tiga kali dan
anak kulit hitam dua kali lebih besar dari anak kulit putih.
Data lain menyebutkan bahwa di sekolah, anak kulit hitam lebih mudah
dikenai hukuman fisik dibanding anak kulit putih. Laporan lain
mengungkapkan soal pemisahan sekolah anak-anak kulit berwarna dari
anak-anak kulit putih yang sampai sekarang masih sering ditemukan di AS.
Di sekolah-sekolah yang secara lahirnya tidak membedakan siswa dari
beragam etnis, siswa kulit hitam dan keturunan Spanyol sering menjadi
korban penghinaan siswa-siswa kulit putih.(IRIB Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar
komen disini