Kamis, 31 Mei 2012

Berterima Kasih Pada Lady Gaga

Ini Artikel sangat bagus untuk di baca oleh kita-kita yang mempunyai Prinsip. berita ini saya baca di majalah online Hidayatullah yang di tulis oleh Lidus Yardi. 

DENGAN pembatalan konser artis asal Amerika di Indonesia, Stefani Joanne Angelina Germanotta alias Lady Gaga, polemik sudah selesai. Gagalnya konser Gaga tentu membuat pihak yang jauh hari menentang rencana konser itu, bersyukur. Kecuali, tentu saja, pihak promotor Big Daddy Entertainment.
Namun, ada pelajaran yang patut dicatat dari batalnya konser Gaga yang kontroversi itu. Pertama, kita patut “berterima kasih” kepada Lady Gaga yang telah mengajarkan arti prinsip dalam hidup. Diberitakan sebelumnya, berbagai pihak yang menerima konser Gaga ada yang memberi catatan, yaitu pakaian dan tarian disaat konser tidak berbau pornografi dan pornoaksi, serta menghormati budaya Timur. Bahkan ada pihak kementerian menyarankan agar pakaian Gaga menggunakan batik sebagai ajang promosi pakaian ciri khas Indonesia.
Seperti yang kita baca dari pemberitaan media. Gaga adalah artis yang punya prinsip dan idealis, yakni kebebasan (liberalisme). Ia bebas mengekspresikan cara berpakaiannya yang memamerkan ketelanjangan (pornografi), tarian erotis (pornoaksi), pemujaan terhadap simbol-simbol setan dan melibas nilai-nilai agama. Ia juga punya prinsip untuk mendukung penyimpangan seksual seperti homoseksual dan lesbian. Ia menyebut homoseksual adalah “revolusioner dalam bercinta”. Dan kaum gay disebut sebagai kaum yang diberkati Tuhan (lihat ensiklopedi bebas, wikipedia).
Oleh sebab itu, ketika Gaga mengadakan konser di Filipina ia berteriak  menentang otoritas Pemerintah Filipina yang mengatur konsep konsernya dengan mengatakan: “Saya bukan boneka pemerintah Filipina!” (Republika, 23/5). Lihatlah, betapa Gaga punya prinsip dalam hidup dan tidak mau dirinya dipengaruhi oleh pihak mana pun. Begitu pula yang dapat kita baca dari gagalnya Gaga konser di Indonesia.
Mustahil batalnya konser sang Mother Monster itu semata-mata karena kekhawatiran ancaman keamanan. Lebih dari itu, Gaga punya prinsip dan tidak mau didikte atau dibatasi idealisme dalam konsep pertunjukkannya. Ia memilih untuk membatalkan konser yang direncanakan itu dari pada melacurkan prinsip dan idealisme yang selama ini dipegangnya. Bahkan ia mengaku terus terang lebih memilih membatalkan konser jika harus tunduk pemerintah setempat yang memintanya berpakaian sopan.
Pertama, inilah pelajaran dan ungkapan terima kasih yang penulis maksud terhadap Gaga. Opini ini penting diangkat untuk membedah identitas dan prinsip negara kita, Indonesia,  yang saat ini hampir tidak memiliki ‘wajah’ dan jati diri. Pemberian grasi kepada ratu mariyuana asal Australia, Schapelle Corby, juga menjadi bukti, betapa prinsip pemberantasan narkoba hanya sekedar basa-basi.
Kedua, (ingat!) batalnya konser Gaga di Indonesia bukan karena keberhasilan pemerintah Indonesia dalam menyerap aspirasi warganya, tetapi kesadaran diri Gaga yang merasa tidak diterima di Indonesia! Pemerintah Indonesia dalam berbagai kasus telah gagal memberi perlindungan terhadap ancaman yang merusak identitas budaya dan moralitas negara, terutama kalangan remaja.
Banyak bukti, bahwa pemerintah Indonesia selalu abai dengan invasi virus asing (Barat) terhadap nilai-nilai agama, budaya, dan moralitas. Terbitnya majalah Playboy dan semisalnya, bermainnya artis-artis porno luar negeri dalam beberapa film Indonesia, bebasnya anak-anak menyaksikan adegan erotis penyanyi dangdut koplo di kampung-kampung, serta gamang dan gagapnya menyikapi konser artis Gaga adalah deretan bukti sikap abai dan alfa pemerintah Indonesia saat dibutuhkan perannya.
Kita ingin bertanya: Di mana sikap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengkampanyekan “Bangkitanya Generasi Emas” terhadap kasus Lady Gaga? Di mana sembunyi Satuan Tugas (Satgas) Pornografi yang dibentuk presiden ketika ada rencana konser artis urakan Gaga? Niat baik apa yang diperbuat pemerintah untuk melindungi warga dari invasi budaya asing?
Jangan heran, Indonesia selalu menjadi ladang subur kalangan tertentu yang berkepentingan, terutama pihak asing, untuk meraup keuntungan ekonomi. Indonesia adalah negara industri hiburan dan syahwat dari sebuah proyek kebebasan. Alan Ridgeway dari Live Nation, promotor yang mendatangkan Lady Gaga ke Asia mengatakan, bahwa secara finansial konser di Asia sangat menguntungkan.
Siapa pun tentu sepakat bahwa konser bagian dari seni dan hiburan. Namun hiburan bukan persoalan seni dan kebebasan semata. Seni yang baik adalah seni yang bermutu dan bernilai positif bagi penikmatnya. Ia seharusnya menjadi inspirasi untuk melahirkan imajinasi kreatif.
Sineas Garin Nugroho berpendapat, sebagaimana dikutip koran ini dalam Tajuk Rencana (18/5), bahwa hiburan seharusnya sesuatu yang dimuliakan, tumbuh dari nilai-nilai karakter lokal dalam keterampilan dan pengetahuan global. Penggampangan hiburan akan melahirkan masyarakat yang gampangan, instan, rapuh, vulgar, dan penuh dengan kekerasan.
Logika yang memandang segala persoalan gampangan sangat berbahaya untuk dipelihara. Khususnya di Indonesia. Karena itu adalah produksi liberalisme. Inilah yang mulai tampak dan tumbuh subur di Indonesia. Ini dapat dilihat dari kasus pro-kontra konser Gaga sendiri.
Seorang tokoh misalnya dalam sebuah acara TV swasta berpendapat, meskipun ada sejuta Lady Gaga tak ada masalah, yang penting imannya kuat. Logika yang digunakan orang ini sama dengan begini: “Meskipun banyak yang telanjang dijalanan atau korupsi uang negara tak masalah, yang penting iman kuat”. Cara berpikir seperti ini menunjukkan ketidaksadarannya, bahwa setiap tindakan atau perbuatan akan memberi pengaruh terhadap dirinya, orang lain atau lingkungannya.
Apa yang didengar, dilihat, dan dialami oleh manusia sesungguhnya berpengaruh bagi dirinya. Dan setiap individu mampu mempengaruhi individu lain, bahkan sebuah komunitas. Terlebih lagi jika individu itu merupakan sosok yang dikenal sebagai publik figur. Ia akan berpengaruh, baik positif atau negatif, meskipun yang dilakukan dengan alasan menghibur. Dalam konteks konser Gaga dan bentuk hiburan lainnya juga demikian. Oleh sebab itu, kita harus jeli dan tidak memandang gampangan setiap persoalan.
Dalam hal ini, Indonesia patut belajar ke negara Cina dan Korea Selatan. Dalam kasus Lady Gaga, kedua negara ini berkesimpulan bahwa kalangan remaja dan budaya harus dilindungi dari lagu apalagi pertunjukkan konser yang dianggap murahan, berkualitas rendah, dan terlalu vulgar. Apa prinsip dan jati diri ini yang kita inginkan di Indonesia?
Yang jadi pertanyaan, untuk mempertahankan sebuah kebathilan, Lady Gaga saja sangat berani dan teguh memegang prinsip, mengapa di antara kita (terutama pengelola negeri ini) justru lemah dan urusan keyakinan (kebenaran)? Wallahu A’lam
Penulis adalah Guru SMKN 3 Teluk Kuantan dan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonsia (KPAI) di Kuantan Singingi 

0 komentar:

Posting Komentar

komen disini