Jumat, 24 Juni 2011

Kehidupan Akhirat


Perinsip iman kepada kehidupan abadi akhirat merupakan salah satu poin penting dalam konsepsi Islam tentang kosmos (alam semesta) dan merupakan ajaran dasar Islam. Iman kepada akhirat merupakan syarat mutlak untuk menjadi Muslim. Tidak beriman kepada akhirat berarti bukan Muslim.

Setelah syahadat (pengakuan akan monoteisme), iman kepada akhirat merupakan ajaran paling penting yang disampaikan semua nabi tanpa kecuali. Para teolog akademis Islam menyebutnya ajaran Kebangkitan.

Dalam Al-Qur'an terdapat ratusan ayat mengenai Hari Pengadilan, kehidupan setelah mad, bangkit dari kematian, buku amal, surga, neraka, keabadian akhirat dan soal-soal lain yang berkaitan dengan alam setelah kematian. Dalam dua belas ayat, iman kepada Hari Terakhir secara formal disebut setelah iman kepada Allah SWT.

Al-Qur'an menggunakan beragam ungkapan untuk menunjukkan Hari Kebangkitan. Satu persatu ungkapan ini penuh dengan makna irfan. Hari Terakhir merupakan salah satunya. Dengan menggunakan ungkapan ini Al-Qur'an ingin kita memperhatikan dua poin:

Bahwa kehidupan manusia, dan sungguh sepanjang waktu eksistensi dunia, dibagi menjadi dua periode. Masing-masing periode dapat disebut hari. Hari Pertama (periode durasi dunia ini) akan berakhir, namun Hari Terakhir (periode durasi akhirat) tak ada akhirnya. Al-Qur'an menyebut kehidupan dunia ini hari pertama dan menyebut kehidupan akhirat hari terakhir. (lihat QS. al-Lail: 3 dan adh-Dhuhâ: 4)

Bahwa sekarang pun ketika kita masih berada dalam periode pertama dan belum mencapai periode kedua dan hari kedua, sukses dan keselamatan kita selama hari ini maupun hari itu tergantung pada iman kita. Dengan iman, kita lalu memperhatikan amal baik dan reaksinya. Kita harus mengerti bahwa seperti kita, pikiran kita, perbuatan kita dan kebiasaan kita juga, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, ada hari pertama dan hari terakhirnya. Kata dan perbuatan kita selama hari pertama tidak sirna, melainkan terus eksis dan akan dimintai pertanggung jawaban pada Hari Pengadilan. Karena itu kita harus berusaha keras agar diri kita, perbuatan kita dan niat kita lurus, agar kita tidak berpikir serta berbuat buruk. Jadi kita harus selalu melangkah ke depan dengan taat hukum dan perilaku yang baik, karena pada iman kita bergantung kebahagiaan kita di hari itu, Perilaku manusia di dunia inilah yang membuat hidupnya di akhirat bahagia atau sengsara. Itulah sebabnya Al-Qur'an memandang iman kepada akhirat atau Hari Terakhir sebagai syarat mutlak kebahagiaan manusia.
Sumber Iman kepada Kehidupan Akhirat

Sumber pokok iman kepada kehidupan abadi akhirat adalah wahyu Allah yang disampaikan kepada umat manusia melalui para nabi. Setelah mengakui Allah, beriman kepada kebenaran para nabi dan mengetahui dengan pasti bahwa apa yang disampaikan para nabi memang berasal dari Allah SWT dan karena itu benar, lalu manusia beriman kepada Hari Kebangkitan dan kehidupan abadi akhirat. Prinsip keyakinan religius ini digambarkan oleh para nabi sebagai ajaran terpenting setelah tauhid.

Dengan begitu, derajat iman seseorang kepada kehidupan akhirat tergantung, di satu pihak, pada derajat imannya kepada Kenabian dan kebenaran para nabi, dan di pihak lain, pada derajat kebenaran dan rasionalitas konsepsinya mengenai akhirat, dan keterbebasannya dari pikiran-pikiran kotor dan bodoh.

Selain wahyu Allah SWT yang disampaikan oleh para nabi, ada beberapa metode lain untuk beriman kepada akhirat. Melalui upaya intelektual dan ilmiah, manusia dapat melihat, setidak-tidaknya, beberapa indikasi kuat yang mendukung apa yang dikatakan para nabi tentang akhirat. Metode-metode ini adalah:

(i) dengan jalan mengenal Allah SWT; (ii) dengan jalan mengenal dunia; (iii) dengan jalan mengenal roh dan mentalitas manusia. Untuk saat ini kami tak akan membahas metode-metode ini yang memerlukan deretan panjang argumen filosofis dan ilmiah. Kami hanya akan membahas metode Kenabian dan wahyu saja. Karena Al-Qur'an sendiri, dalam beberapa ayatnya, dengan jelas menyebutkan metode-metode ini, dan dalam beberapa ayat lainnya meng-isyaratkan ke arah metode-metode ini, maka kami akan membahasnya pada bagian selanjutnya di bawah judul Argumen Al-Qur'an tentang Akhirat. Agar soal kehidupan abadi akhirat bisa jelas dari sudut pandang Islam, maka perlu dilihat soal-soal berikut:

(i) Karakter hakiki kematian.

(ii) Kehidupan setelah mati.

(iii) Barzakh.

(iv) Kebangkitan.

(v) Hubungan kehidupan dunia dengan kehidupan setelah kematian.

(vi) Eksistensi abadi amal perbuatan manusia dalam bentuk fisik.

(vii) Karakter umum dan khas kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

(viii) Argumen Al-Qur'an mengenai akhirat.

Karakter Hakiki Kematian

Apa kematian itu? Apakah kematian adalah kehancuran, kemusnahan, dan non-eksistensi, ataukah suatu perubahan, perkembangan dan peralihan dari satu dunia ke dunia lain? Inilah pertanyaan yang selalu menarik perhatian manusia. Setiap orang ingin menemukan sendiri jawabannya atau menerima jawaban yang sudah ada. Karena kita ini Muslim, maka kita ingin memberikan jawaban untuk pertanyaan ini dari Al-Qur'an, dan kita percaya pada apa yang dikatakan Al-Qur'an dalam hal ini.

Al-Qur'an memiliki penjelasannya sendiri mengenai karakter hakiki kematian. Al-Qur'an menggunakan kata "tawaffâ dalam kaitan ini. Arti kata ini adalah menerima penuh. Empat belas ayat Al-Qur'an menggunakan ungkapan ini. Semua ayat ini menunjukkan bahwa, dari sudut pandang Al-Qur'an, arti kematian adalah masuk ke dalam penjagaan. Dengan kata lain, ketika mati manusia memasuki penjagaan otoritas-otoritas ilahiah yang menerimanya tanpa batas. Dari ungkapan ini dapat disimpulkan beberapa poin:

(i) Arti kematian bukanlah kesirnaan dan kemusnahan. Kematian hanyalah peralihan dari satu dunia ke dunia lain, dan dari satu tahap kehidupan ke tahap kehidupan lain. Setelah kematian, kehidupan manusia berlanjut, meski bentuknya berbeda.

(ii) Yang membentuk manusia dan dirinya bukanlah tubuhnya serta sistem fisis dan penunjangnya, yang di dunia ini berangsur-angsur mengalami kerusakan dan kehancuran. Yang sesungguhnya membentuk personalitas dan ego manusia adalah apa yang oleh Al-Qur'an digambarkan sebagai "diri" dan terkadang "jiwa".

(iii)Jiwa atau diri manusia merupakan konstituen sejati personalitasnya. Manusia tidak mati, karena jiwa atau rohnya tidak mati. Rohnya eksis di sebuah cakrawala yang letaknya di atas cakrawala materi dan hal-hal material. Meskipun ini merupa­kan hasil dari evolusi esensi fenomena alam yang mengalami transformasi menjadi jiwa atau roh sebagai akibat dari evolusinya, namun cakrawalanya mengalami perubahan dan menjadi sesuatu dari alam lain yang di luar alam semesta. Ketika mati, roh beralih ke kelas lain, yaitu kelas roh. Dengan kata lain, realitas di luar materi ini kini berada dalam penjagaan malaikat. Al-Qur'an mengemukakan poin bahwa manusia adalah sebuah realitas yang kelasnya di luar materi. Mengenai Adam as, manusia pertama, Al-Qur'an mengatakan,
"Dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku." (QS. al-Hijr: 29)

Soal roh dan kelangsungan hidupnya setelah mati merupakan salah satu ajaran pokok Islam. Separo dari ajaran-ajaran Islam yang tak dapat diingkari itu didasarkan pada doktrin bahwa roh tak bergantung pada tubuh, dan roh masih terus eksis meski manusia telah mati. Semua nilai manusiawi sejati didasarkan pada kebenaran ini. Tanpa kebenaran ini, nilai-nilai tersebut tak lebih dari imajinasi belaka.

Semua ayat yang berbicara tentang kehidupan setelah mati, beberapa contohnya akan kami kutip, membuktikan bahwa roh adalah sebuah realitas yang tak bergantung pada tubuh dan bahwa roh akan terus ada sekalipun tubuh sudah hancur dan sirna.

Sebagian orang mengira bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an tak ada roh atau jiwa. Akhir eksistensi manusia adalah ketika manusia mati. Setelah mati, manusia tak memiliki kesadaran dan juga tak merasa senang atau sakit. Pada saat Kebangkitan, manusia akan mendapat hidup baru, dan pada saat ini sajalah dia akan menemukan kembali dirinya dan dunia. Namun teori ini bertentangan dengan ayat-ayat yang menyebutkan kehidupan setelah mad.

Para pendukung teori ini mengira bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh atau jiwa mendasarkan klaimnya pada ayat, "Katdkanlah, roh adalah atas perintah Tuhanku." Mereka mengatakan bahwa meskipun kata "roh" disebut berulang-ulang dalam Al-Qur'an, namun makna roh adalah sesuatu yang berbeda dengan apa yang disebut jiwa. Dalam ayat ini juga arti roh sama dengan yang dimaksud dalam ayat-ayat lain. Orang-orang ini tidak tahu bahwa orang yang mempercayai eksistensi roh tidak mendasarkan argumennya pada ayat ini. Ada sekitar dua puluh ayat lagi yang jelas-jelas menyebut roh atau menyebutnya dalam bentuk kata benda dan kata ganti yang mengungkapkan milik, rangkaian kata sifat dan seterusnya seperti roh Kami, roh-Ku, roh suci, roh dengan Perintah Kami. Mengenai manusia, dikatakan "Dan Aku tiupkan he dalamnya roh-Ku." Ungkapan ini menunjukkan bahwa dari sudut pandang Al-Qur'an ada sebuah realitas yang lebih tinggi daripada malaikat dan manusia, dan realitas inilah yang disebut roh. Sebagai nikmat dari Allah SWT, malaikat dan manusia memiliki realitas ini yang digambarkan sebagai "dengan Perintah-Ku". Ayat "Aku tiupkan ke dalamnya roh-Ku," bersama ayat-ayat lain menunjukkan bahwa roh manusia memiliki realitas yang luar biasa.

Banyak ayat Al-Qur'an bukan saja menegaskan eksistensi mandiri roh manusia, namun pandangan ini juga diperkuat oleh banyak riwayat mutawatir dalam kitab-kitab hadis dan juga diperkuat oleh banyak kalimat dalam "Nahj al-Balaghah". (Lihat Peak of Eloquence (Nahj al-Balaghah atau Puncah Kefasihan, I. S. P. 1984) dan Doa Para Imam Suez)

Faktanya adalah bahwa pengingkaran eksistensi roh merupakan pikiran kotor Barat yang diilhami oleh materialisme Barat. Sayangnya, ada sebagian pengikut Al-Qur'an yang berpikiran seperti ini. Sekarang kami kutip, melalui contoh-contoh, tiga dari empat ayat yang menggunakan kata "tawaffi' untuk kematian. Dalam ayat-ayat ini dikatakan bahwa setelah kematiannya manusia masih melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang dilakukannya ketika masih hidup (seperti bicara, berkehendak dan memohon).

(i) Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya din, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam keadaan bagaimana kamu itu?" Mereka menjawab: "Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). " Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburu-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ': 97)

0 komentar:

Posting Komentar

komen disini