Rabu, 16 Mei 2012

HASRAT SESAAT, SELAMATKAN AKU


Oleh. Haidar Aali Fakhri/ Dwiswandi
Harus dengan apa aku membayar semua kebaikan yang telah Mas berikan padaku?” ucap Nissa padaku yang telah mengantarkannya hingga pintu gerbang kost. Aku tersenyum kecil dan berucap pelan padanya.
“Sudahlah, jangan terlalu Nissa pikirkan. Mas begini tidak punya maksud apapun pada Nissa. Mas hanya ingin mengantarkan Nissa aja” Nissa menatapku sebentar, balas tersenyum.
“Tidak mungkin Mas melakukan ini semua tanpa maksud dalam hati Mas. Nissa yakin itu…”
“Eittt!...” potongku.
“Please…jangan tanamkan terlalu jauh dalam hati Nissa tentang semua ini. Mas ridlo, rela pada yang telah Mas lakukan. Toh, hanya mengantar saja. Apa yang salah?”

“Tidak,Mas! Memang tidak salah. Dan tak ada yang perlu dipermasalahkan. Tapi terus
terang, saya kok menangkap sesuatu yang janggal pada hati saya. Saya melihat dan merasakan bahwa Mas memiliki sesuatu maksud. Dan maksud itu yang Nissa ngga tau sampe sekarang” Kuterdiam, mendengarkan kalimat Nissa selesai terucapkan.
“Okey! Kalo gitu, mungkin ini adalah yang terakhir Mas mengantar Nissa. Mas takut,
semua ini malah menimbulkan kecurigaan atau bahkan juga keresahan di hati Nissa. Maafkan
semua ini…”
Akhirnya kuputuskan kalimat itu yang terucap dari bibirku, sebagai balasan dari keresahan yang mungkin saat ini sedang berkecamuk di hati Nissa. Nissa hanya menunduk sembari mendengar semuanya aku tuntaskan.
“Assalamu’alaikum…”
Aku lajukan sepeda motorku meninggalkan Nissa yang masih termangu. Dalam hatiku, kembali aku berucap lirih.
“Maafkan aku Dik Nissa. Jujur aku akui, Aku mencintaimu sebenarnya…”
Sejak beberapa hari yang lalu aku menggoda Nissa dengan menawarkan tumpangan saat pulang, Nissa ternyata mau juga aku antar pulang tiap selesai jam kantor. Aku menjadi keterusan ingin mengantarnya. Dan memang sudah sewajarnya Nissa curiga padaku.
Namun aku masih juga anggap masa bodo pada semua ini. Aku masih menganggap ini tidak mungkin terjadi dalam batinku. Tak mungkin aku jatuh cinta pada Nissa. Ternyata perkiraanku salah. Aku telah jatuh hati pada Nissa saat
ini.
 Aku telah terlanjur menorehkan kata ‘cinta’ di dadaku. Kata yang seharusnya jangan sampai terjadi. Inilah akibatnya yang aku rasakan. Aku gelisah. Aku galau. Aku pun terganggu pikiranku. Oh, tersiksanya batinku.
……………….
Dua hari berlalu. Aku masih saja merasakan rindu yang tak mungkin bisa kupendam lagi. Rindu betapa aku ingin segera berjumpa dengan Nissa. Aku menyesal telah berbohong padanya. Apalagi tentang perasaanku padanya.
 Namun haruskah semua ini terjadi. Sementara aku tahu, ada sisi hati lain yang saat ini memenuhi
ruang hatiku.
 Kejamnya diriku jika sampai aku menyia-nyiakan ketulusannya selamanya. Ia yang telah mencurahkan segala cinta yang ada, untuk diriku. Ia yang semenjak aku terpuruk telah mengangkat aku kembali. Membangkitkan segala semangat yang sempat aku onggokkan di tong sampah pelarianku.
Haruskah aku khianati dirinya?
“Kangmas melamun?” Ups! Suara lembut istriku itu mengagetkan lamunanku.
“Ah,enggakkoq,Nur…, Mas hanya merasa letih, capek saja setelah seharian kerja di kantor. Badan rasanya pegal-pegal semuanya, Nur” alasanku pada Nur, istriku.
“Mmh, kalo gitu…, boleh Nur pijitin badan Kangmas?” sahut Nur sembari memegang tengkukku dan memijit pelan serta mendekatkan badannya di belakangku. Terasakan sekali getaran kasih sayang dari tangan lembutnya yang memijit-mijit pelan badanku. Kembali terngiang dalam benakku sebuah pertanyaan…
“Haruskah aku menyakiti perasaannya?” Semakin lama pijatan tangannya, kehangatan dan ketenangan kurasakan. Namun dibalik semua itu, aku membelakangi dia dengan kegundahan batinku. Kembali aku mengutuk kalbuku sendiri.
Teganya aku!! Kejamnya aku!! Jika aku sampai melakukan pengkhianatan ini…. Tanpa kusadari tiba-tiba aku terguguk sendiri. Aku menangis, menelungkupkan mukaku ke lututku. Nur pun terkaget-kaget
menyadari tangisanku.
“Mas…, Mas koq menangis? Mas gak suka yach, Nur pijitin?”
“Bukan itu,Nur. Bukan itu yang Mas tangisi,”
“Lalu? Kenapa Mas menangis?” Aku balikkan badanku, sekuat hatiku menatap matanya yang teduh bagaikan embun yang tercurahkan di pagi hari.
Sinar matanya yang hangat menggelayut di wajahnya. Walaupun penuh dengan seribu tanda tanya di raut mukanya yang tak berdosa.
“Maafkan Mas,Nur…, Mas tak bisa mengatakan apa-apa pada Nur. Mas tak bisa memberikan alas an apapun untuk saat ini pada Nur. Maafkan Mas…” sahutku menjawab pertanyaan Nur yang pastimasih menyisakan tanda tanya besar baginya.
Tak puas tentunya dengan jawabanku. Tapi aku tak bisa mengatakannya. Aku tak mau menciptakan bara di dalam rumahku sendiri yang damai
selama ini.
“Nur ngerti,Mas. Nur nggak memaksa Mas untuk cerita pada Nur, alasan kenapa Mas menangis. Kalo gitu,mendingan Mas ambil air wudlu. Terus sholat isya’. Belum sholat isya’,kan?”
Aku mengangguk pelan sambil menyeka butiran airmata yang masih tersisa setelah Nur hapus dengan lentik jari-jarinya. Aku bangkit dari hadapan Nur dan beranjak menuju ke belakang, untuk berwudlu.
Dalam langkahku, aku menengok sebentar pada istriku tercinta. Ia masih saja menatap
langkah-langkahku. Berdosa sekali aku padanya.
…………………………..
Yaa Alloh, betapa aku kejam sekali pada istriku. Betapa aku telah menyakiti perasaannya padaku, Yaa Robb…
Aku telah membohongi ketulusannya selama ini. Aku telah merentaskan cinta yang seharusnya hanya tercurah padanya. Aku berdosa…
Aku dzolimi dia…
Ampuni aku, Yaa Alloh… Ampuni segala kekeliruan yang telah aku perbuat. Namun aku tak mampu membendung hasrat ini pada Nissa. Aku amat mencintai dia, saat ini. Haruskah aku juga membohongi dia.
Aku mengingkari perasaan yang saat ini sedang menaungi hatiku. Yaa Alloh, apakah ini yang dinamakan aku telah jatuh cinta pada Nissa? Wallohua’lam. Hamba mohonkan padaMu.
Jauhkan perasaan hamba dari Nissa, Yaa Robb. Jauhkan bayang-bayang dia dari pelupuk dan hati hamba.
Amien..amien…amien… Yaa Robbal’alamien… Munajatku ba’da sholat isya’. Akumasih juga terduduk bersimpuh. Segala perasaanku, aku paksakan terucapkan padaNya.
DIA, Dzat yang lebih tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku yakin, DIA bisa memberikan jawaban yang tepat bagi kegelisahanku.
…………………
Di kantorku. Aku masih sibuk menyelesaikan tugas-tugasku, saat tiba-tiba bayangan Nissa melintas di depan mejaku.
“Ups! Nissa! Boleh kita bertemu sebentar nanti?” Nissa yang tak bisa menghindar lagi dari depanku sontak gugup.
“Mmm-maaf,Mas. Saya sudah ditunggu sama seseorang di luar. Jadi kayaknya enggak bisa,Mas. Maaf ya,Mas.
Assalamu’alaikum…” jawab Nissa sembari secepat itu pula ia melangkah meninggalkan diriku.
Dari dalam kaca ruanganku, aku singkap tirai penutupnya sedikit. Danmemang benar, diluar tengah menunggu seseorang. Lalu sejurus kemudian Nissa pun menghampirinya.
Dan mereka pun berlalu meninggalkan halaman kantor. Dari balik kaca, aku bisa merasakan mereka
adalah pasangan yang serasi dan pantas. Batinku pun berucap…
“Terima kasih,Yaa Alloh. Engkau telah memberikan jawaban yang tepat pada kegelisahanku selama ini. Semoga ini bisa menjadi awal kembali bagiku untuk memperbaiki kekhilafanku padaMu dan juga Istriku,Nur.
Terima kasih,Yaa Alloh” Sesungging senyum melingkar di bibirku. Lega sekaligus bahagia. Akhirnya Alloh menyelamatkan aku dan keluargaku dari bara yang bakal menyerang kehidupanku bersama istriku.
Alhamdulillah.
………………….
Sesampainya aku di rumah. Serta merta aku peluk istriku dari belakang saat ia sedang sibuk menyiapkan segelas air minum buatku.
“Eit! Mas kenapa siy, tiba-tiba koq meluk Nur begini?” Tanya Nur kaget. Hampir saja air yang ada ditangannya tumpah, kalau saja tidak dengan sigap dia taruh kembali di meja.
“Emang gak boleh apa, seorang suami memeluk istri tercintanya? Hahaha… Oh istriku tercinta…” sahutku sembari masih terus memeluk dengan mesra istriku.
“Boleh aja,siy. Cuma Nur heran aja. Semalem Mas baru aja nangis-nangis di depan Nur. Trus dilanjutin nangis juga di atas sajadah waktu abis sholat. Eeeh, sekarang malah sudah tersenyum kembali dan yang lebih membahagiakan Nur, Mas tiba-tiba meluk Nur lagi…”
“Sudahlah,sayangku. Yang sudah ya sudah saja. Sekarang yang pasti Mas lagi pengen meluk istri Mas tercinta sepuas Mas. Hehehe…”
“Iiih..Mas genit dech!. Sana mandi dulu,gih! Bau tuch, baru pulang kerja!?”
“Iya dech, Nur ngerti. Ntar dech dilanjutin lagi meluk Nur sepuas Mas. Yang penting Mas mandi dulu.Jorok kalo gak mandi. Hehehe…”
“Ya udah. Mas mandi dulu ya,sayang. Janji lho, ntar Mas boleh meluk istri Mas tercinta lagi. Hehehehe…” Nur tampak malu-malu menjawab. Dari pipinya terlihat semu merah jambu menghiasi wajahnya. Bergegas aku mengambil handukku untuk mandi.
Sembari melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, tak henti- hentinya aku ucapkan syukur yang tak terhingga pada Alloh SWT yang telah menyelamatkan semua ini. Alhamdulillah….

0 komentar:

Posting Komentar

komen disini