Israil bangsa pembohong, sejak masa Nabi Musa mereka sudah dikenal dengan Bangsa pembohong dan penjajah. kebohongan yang paling besar mengenai Halocaust pembantaian bangsa yahudi oleh Nazi jerman, padahal itu semua adalah peristiwa yang tidak terjadi, hanya ingin menarik simpati dunia untuk bisa mendirikan negeri di Pelestina.
inilah Zionis Yahudi. mereka akan menghalalkan segala cara untuk bisa membohongi publik dunia tentang pembantaian yahudi.
Peristiwa-peristiwa
spektakuler yang layak dikenal dan dikenang tak lepas dari preseden
sejarahnya. Ia tetap bergelantungan dideret-deret pojok bisu sejarah,
meski kita mengobrak-abrik, memanipulasi, dan menutup-nutupi. Bagaimana
pun, sejarah lahir dari rahim kesadaran yang dihentakkan oleh bunyi
realitas faktual, tak akan hilang keotentikannya.
Kini tak sedikit batu-bata sejarah digugat, di break down,
hingga ditelanjangi sampai-sampai segepok pertanyaan yang menghinggap
dibenak berangsur hilang. Secara logika, kita tak lagi mampu berdialog
dengan sejarah. Karena, sejarah berdialog dengan kausalitas korelasi
antara massa waktu saat itu dan kejadian sejarah. Maka dari itu, kita
terkesan patah ketika hendak mendefinisikan, menafsirkan, apalagi
menyimpulkan eksemplar uraian sejarah.
Sejarah Holocaust
misalnya, yang saat ini mengundang pertanyaan dan kian temukan titik
runcing kontroversinya. Bahkan, Ahmadinejad presiden Iran berani
bersuara miris tentang Holocaust tersebut: “Sekarang, mereka (bangsa Eropa) telah menciptakan sebuah dongeng dengan nama Holocaust dan menganggapnya melebihi Tuhan, agama, dan ramalan.”
Holocaust adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan genocide
(pemusnahan secara terencana) kelompok-kelompok minoritas di Eropa dan
Afrika Utara pada Perang Dunia II oleh Adolf Hitler dan Nazi. Paham
diskriminasi ras telah membawa Hitler menempatkan ras-ras lain berada
dibawah ras Arya. Kelompok-kelompok bangsa yang dianggap ras bawah
seperti Yahudi, Polandia, Rusia, Belarusia-Serbia, Afrika, dan Asia
dicap sebagai golongan Untermensch (manusia rendahan) dan menjadi target khusus aksi “pembersihan” Nazi.
Istilah Holocaust awalnya berasal dari bahasa Yunani halekaustann, yang berarti sebuah korban persembahan kepada dewa yang “sama sekali (holos) terbakar (kaustos)”. Akhir abad ke-19, istilah “Holocaust” digunakan untuk menjelaskan malapetaka-malapetaka atau bencana-bencana. (hlm. 10). Berdasar pada Kamus Bahasa Inggris Oxford, kata Holocaust
kali pertama digunakan untuk mendeskripsikan perlakuan Hitler kepada
orang-orang Yahudi dari tahun 1942, walau kata ini belum menjadi
referensi standar hingga tahun 1950-an. Akan tetapi, pada pengujung
tahun 1970-an makna lazim dari kata ini menjadi genocide Nazi. Holocaust pun memiliki beragam nama-nama yang telah dikenal guna mendeskripsikan genocide. Seperti, Ha-Shoah (bahasa Yahudi), Khurbn atau Halukaust (bahasa Yiddi), Porajmos (bahasa Romania), Calopalenia atau Zaglada (penyebutan kedua nama ini di miliki Bahasa Polandia).
Tanggal 8 dan 9 November 1938, merupakan langkah awal dari Holocaust melakukan pemusnahan massal terencana (pogrom) Kristallnacht dan Program Euthanasia T. 4. Kemudian, dilanjutkan dengan proyek pembentukan pasukan-pasukan pembunuh (killing squads) dan kamp-kamp pemusnahan (extermination camps)
yang berniatan memiliki usaha terorganisir secara besar-besaran serta
terpusat untuk membantai setiap orang yang menjadi target Adolf Hitler
dan pasukan-pasukan Nazi. Ditengarai dari peristiwa dahsyat Holocaust, kebanyakan korbannya adalah orang-orang Yahudi di Eropa. Kira-kira 6 juta orang Yahudi terbunuh pada masa Holocaust. Mereka (orang-orang Yahudi), oleh Nazi disebut “Solusi Final atas Permasalahan Yahudi” (die Endlosung der Judenfrage) atau “pembersihan” (die Reinigung).
Untuk memperlancar misi Holocaust,
beragam cara berbau kekejaman dilakukan. Seperti, membangun kamp-kamp
kosentrasi dan kerja paksa (1933-1945), penyiksaan (1938-1941),
euthanasia (1939-1941), ghetto-ghetto (1940-1945), pasukan-pasukan
kematian (1941-1943), kamp-kamp pemusnahan (1942-1945), serta prosesi
kematian dan pembebasan (1944-1945). Cara-cara demikian itulah, yang
dilakukan oleh para pemimpin Nazi dalam “menghabisi” ras-ras lain selain
ras Arya.
Holocaust
dan fenomena sejarah mengenai Nazisme, telah menjadi simbol gelap pada
kejahatan-kejahatan yang terjadi pada abad ke-20, juga sebagai subyek
dari studi-studi sejarah, psikologi, sosiologi, sastra, dan filsafat.
Satu pertanyaan filosofis dilontarkan oleh Wilhelm Reich pada awal tahun
1933 di Mass Psychology of Fascism adalah misteri dari ketaatan
rakyat Jerman atas operasi yang sangat “gila” tersebut. Karena, pada
saat itu kategori oposisi biner dengan dobrakan gila Nazi tak terlalu
mencuat. Kemudian, muncullah buku Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil
(1963), yang ditulis oleh Hannah Arendt. Dengan begitu, Arendtlah
sebagai orang pertama yang berani memproklamirkan sikap dirinya terhadap
Nazi, bahwa tindakan Nazi itu adalah “sadisme” dan kental “kekejaman.”
Holocaust FiksiKebenaran berita Holocaust pada saat ini, kuat indikasi mulai dipertanyakan. Benarkah Holocaust
ada? Benarkah 6 juta jiwa orang Yahudi terenggut oleh kekejaman Nazi?
Ataukah itu hanya sebuah rancangan konspirasi zionis Yahudi untuk
membenarkan langkah-langkah politik mereka di panggung dunia? Kumpulan
pertanyaan-pertanyaan yang menjadi centang perenang dan siap menggerus
kebenaran Holocaust.
Holocaust denial atau penyangkal Holocaust (biasanya disebut revisionisme Holocaust oleh para pendukungnya) adalah kepercayaan bahwa genocide orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok minoritas lainnya selama Perang Dunia II –masa Holocaust–
tak pernah terjadi, atau apabila benar terjadi, akibat yang disebabkan
tidak sebesar apa yang diyakini pada masa sekarang. Bahkan, ada dari
para penyangkal Holocaust, yang sama sekali tak percaya atas korban pada masa Holocaust, “Bagaimana mungkin 6 juta orang Yahudi dibunuh pada masa Holocaust jika hanya terdapat 3 juta jiwa orang Yahudi saat itu?”
Sebagian besar penyangkalan Holocaust menyatakan secara tidak langsung, bahwa Holocaust
adalah sebuah cerita bohong yang dengan sengaja diciptakan oleh orang
Yahudi untuk memajukan kepentingan mereka dengan mengorbankan orang
lain. (hlm. 81). Karena alasan ini, penyangkalan Holocaust
umumnya dianggap sebagai sebuah teori konspirasi anti-semitik (sikap
antipati terhadap bangsa Semit, khususnya orang Yahudi).
Penyangkalan Holocaust
dipandang secara luas sebagai kegagalan dalam mengikuti
peraturan-peraturan perlakuan bukti, peraturan-peraturan yang dikenal
sebagai dasar dalam penyelidikan yang rasional. Konsensus yang kuat
adalah apabila bukti yang diberikan oleh mereka yang selamat,
saksi-saksi mata, dan para sejarawan. Sehingga, kebenaran sejarah disini
dipertaruhkaan lewat jangkauan-jangkauan rasio yang masuk akal. Adalah
hal yang tidak masuk akal untuk meminta orang-orang memberikan klaim
guna membuktikan bahwa bukti-bukti mereka “sungguh nyata” dari
kenyataan yang sudah jelas, kecuali ada beberapa alasan khusus yang
dapat dipercaya untuk memercayai bahwa bukti-bukti tersebut
mencurigakan.
Kendati pun sejarah dimanipulasi, kebenaran Holocaust
dipertanyakan, dan diputar balik faktanya tak akan hilang jejak-jejak
sejarahnya. Bantuan buku ini menawarkan sisi keseimbangan fakta-fakta Holocaust
yang bergelantungan dideret-dideret laci sejarah, sehingga kelesuan
yang menggiring terhadap pergulatan politik tak dapat ditambat.
Kesejatian sejarah, kalau sudah dibenturkan kepada
kepentingan-kepentingan politik akan dapat ditebak telah mengalami
kekaburan-kekaburan fakta. Minimal lewat buku ini menghantarkan
pemahaman mereka yang ingin mengetahui titik-titik kontroversi akut
sejarah Holocaust yang tak lepas dari ruang lingkup syak wasangka kebenarannya.