Minggu, 03 Juni 2012

Cendekiawan Kontemporer Iran, Imam Khomeini Bagian 1

 
Imam Khomeini ra, Pemimpin Besar Revolusi Islam dan pendiri pemerintahan Islam di Iran adalah sosok figur yang paling berpengaruh dalam perjalanan bangsa Iran di zaman ini. Bahkan beliau dapat dimasukkan ke dalam daftar orang-orang yang sangat berpengaruh pada perjalanan sejarah manusia. Beliaulah yang telah menggugah bangsa Iran bahkan umat manusia di dunia untuk bangkit menyuarakan seruan ilahi. Beliau adalah jelmaan dari sosok penyeru kebenaran yang dulu dikumandangkan oleh para nabi dan imam. Bangkit melawan despotisme dan kediktatoran rezim Pahlevi di Iran, Imam Khomeini ibarat pelita yang menyinari kalbu bangsa Iran di era kekelaman dan membawa mereka kepada cahaya.

Gerakan kebangkitan Imam Khomeini telah membalik nasib bangsa Iran. berkat bantuan dan inayah Allah Swt gerakan ini berujung pada kemenangan sebuah revolusi yang Islami. Ayatollah al-Udzma Khamenei, Pemimpin Revolusi Islam saat ini yang juga salah seorang murid beliau mengatakan, "Setelah para nabi dan wali maksum, keagungan pribadi Imam Khomeini benar-benar tidak bisa dibandingkan dengan kepribadian siapapun juga. Beliau adalah anugerah ilahi kepada kita, hujjah Allah atas kita dan tanda kebesaran Allah. Ketika memandang beliau orang akan mempercayai keagungan para pemimpin agama kita."

Imam Sayid Ruhullah Musavi Khomeini lahir pada tanggal 30 Shahrivar 1281 HS yang bertepatan dengan tanggal 21 September 1902 M di keluarga yang taat dan dikenal dengan ketinggian ilmu di kota Khomein, Iran tengah. Ayah beliau, Ayatollah Sayid Mustafa Musavi, adalah ulama pemberani yang menjadi panutan dan rujukan masyarakat. Dia melawan kekejaman penguasa lokal yang tak menaruh belas kasihan terhadap jiwa dan harta rakyat kecil. Akibat penentangannya itu, dia dibunuh oleh kaki tangan penguasa setempat, saat putranya yang bernama Ruhullah masih berusia lima bulan. Sejak kecil, Ruhullah diasuh oleh ibunya yang dikenal salehah.

Masa kecil dan masa remaja Imam Khomeini bertepatan dengan munculnya pergolakan besar di pentas politik dan sosial Iran, menyusul terjadinya revolusi Konstitusi. Perkembangan itu tak luput dari perhatian remaja yang di kemudian hari akan menjadi pemimpin itu. Kenangan di masa kecil digambarkan oleh Sayid Ruhullah lewat lukisan atau tulisan kaligrafinya. Misalnya, di buku catatan yang ditulis Sayid Ruhullah saat masih berusia 10 tahun, ada ungkapan demikian; "Di manakah kecemburuan Islam? Di manakah gerakan kebangsaan?" Ungkapan tersebut menunjuk ke pergolakan politik saat itu. Saat berusia 15 tahun, Ruhullah harus berpisah dari kasih sayang ibu yang menutup mata untuk selamanya.

Sejak masa kanak-kanak Imam Khomeini yang punya kecerdasan luar biasa mulai menimba ilmu-ilmu agama seperti tata bahasa Arab, mantiq, ushul dan fiqih. Tahun 1297 HS (sekitar 1918 M) beliau melanjutkan pendidikan agama di hauzah ilmiah di kota Arak, Iran tengah. Pada jenjang berikutnya, beliau hijrah ke Qom dan berguru kepada para ulama besar seperti Ayatollah Hairi, yang saat itu menjadi marji Syiah  di Qom. Dengan cepat, Sayid Ruhullah menyelesaikan berbagai jenjang pendidikan yang meliputi ilmu fiqih, ushul, filsafat, irfan dan lainnya hingga mencapai tingkat keilmuan yang tinggi. Saat berusia 27 tahun, beliau menikah dengan Khadijah Tsaqafi, putri salah seorang ulama terkemuka.

Menginjak usia 35 tahun, Sayid Ruhullah sudah dikenal sebagai salah satu ulama muda berbakat di hauzah ilmiah Qom. Banyak santri muda yang berlomba-lomba mengikuti kelas pelajaran beliau. Selain mengajar dan belajar, Imam Khomeini juga aktif menulis. Diantara aktivitas keilmuan beliau adalah terlibat secara langsung untuk memperkokoh hauzah ilmiah yang merupakan pusat pendidikan agama. Seiring dengan itu, jiwa anti kezaliman yang beliau miliki semakin matang. Menurut beliau, memperkuat hauzah dan mempererat hubungan kalangan rohaniawan dengan masyarakat, akan menyelamatkan rakyat dari kezaliman dan penindasan rezim penguasa maupun agresi musuh asing.

Imam Khomeini selalu mengikuti perkembangan negara dan dunia dengan menelaah majalah, koran, buku dan media lainnya. Beliau juga menjalin hubungan dengan para ulama pejuang seperti Ayatollah Nurullah Isfahani dan Ayatollah Sayid Hasan Modarres. Di zaman itu, Reza Khan, raja pertama dinasti Pahlevi memerintah dengan tangan besi. Dia tak memberi kebebasan kepada siapapun untuk menyampaikan pendapat dan pandangan yang berbeda. Reza Khan tak segan memenjarakan, menyiksa, mengasingkan bahkan membunuh siapa saja yang dianggap membahayakan takhtanya.

Naiknya Mohammad Reza Pahlevi ke takhta pada tahun 1320 HS (1941 M), dan relatif kondusifnya suasana, memberi keleluasaan kepada Imam Khomeini dan para ulama untuk beraktivitas. Sampai 20 tahun setelah itu, Imam Khomeini aktif mengajar, menulis dan mendidik para ulama muda. Beliau juga mencermati perkembangan politik yang terjadi khususnya di Iran, termasuk gerakan nasionalisasi minyak tahun 1951.

Ketika Ayatollah al-Udzma Boroujerdi, marji besar Syiah, wafat tahun 1961, nama Ayatollah Khomeini sudah dikenal banyak pihak sebagai sosok ulama dengan ilmu yang luas dan kepribadian akhlak yang mulia. Berbagai kalangan juga mengenal ketajaman pandangan politik beliau. Akibatnya, desakan dari berbagai pihak kepada beliau supaya bersedia menjadi marji taklid semakin besar. Di pentas politik, terjadi gejolak menyusul campur tangan Amerika  Serikat menggulingkan pemerintahan Dr Mosaddeq yang didukung rakyat. Peristiwa terjadi pada tahun 1953.

Intervensi Amerika Serikat dalam kudeta membuka pintu bagi negara adidaya itu untuk lebih mencampuri urusan dalam negeri Iran. AS mendesak rezim Shah Pahlevi untuk melakukan serangkaian perombakan dan reformasi. Tahun 1962, Shah membuat draf kebijakan yang sebagian isinya bertentangan dengan ajaran Islam. Langkah rezim tersebut direaksi keras oleh Imam Khomeini. Beliau dengan lantang menyuarakan penentangan atas reformasi yang menguntungkan AS dan merugikan Iran itu. Sikap Imam Khomeini didukung oleh kebanyakan ulama dan rakyat. Protes yang dimotori oleh kalangan ruhaniawan muncul di sejumlah kota khususnya Tehran dan Qom. Rencana menggelar referendum untuk mengesahkan kebijakan baru itu ditentang oleh Imam Khomeini. Beliau menyerukan untuk memboikot referendum. Bulan Maret 1963, Imam Khomeini membuat statamen yang dengan berani menyerang reformasi Shah. Menyusul keluarnya statemen itu warga Tehran turun ke jalan-jalan memprotes kebijakan rezim. Demontrasi berujung rusuh setelah polisi dan pasukan keamanan Shah menyerang para pengunjuk rasa. Sikap AS yang mati-matian melayani AS telah menutup matanya sehingga dia rela membantai rakyatnya sendiri.

Masih di bulan Maret 1963, polisi berpakaian preman menyerang kumpulan santri dan rohaniawan di madrasah Feiziyyah Qom. Pembantaian pun terjadi dengan para santri dan pelajar agama sebagai korbannya. Serangan ke pusat pendidikan agama juga terjadi di kota Tabriz. Dalam suasana yang tegang seperti itu, rumah kediaman Imam Khomeini di Qom dikawal oleh para pemuda revolusioner yang berdatangan ke kota itu untuk membela para ulama. Imam Khomeini dalam pidatonya secara terbuka menyebut rezim Shah sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya pembantaian puluhan bahkan ratusan warga dan santri. Kata beliau, Shah terang-terangan bersekutu dengan AS dan Israel. Imam menyeru warga Iran untuk bangkit melawan kezaliman Shah.

Dalam statamennya menyusul pembunuhan para santri dan pelajar agama, Imam Khomeini mengatakan, "Saya telah memutuskan untuk tidak diam sebelum membungkam rezim yang bobrok ini." Imam akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Berita penahanan Imam Khomeini dengan cepat didengar oleh rakyat Iran di seluruh penjuru negeri. Sehari setelah itu, tanggal 5 Juni 1963, warga Iran di banyak kota menggelar demonstrasi menuntut pembebasan sang pemimpin. Pekikan slogan "Mati atau Khomeini" menggema di seantero negeri dan mengguncang pilar-pilar istana Shah. Kembali rezim despotik melakukan pembantaian terhadap warganya. Banjir darah terjadi di banyak tempat khususnya Tehran dan Qom. Desakan terhadap rezim memaksa Shah memerintahkan pembebasan Imam Khomeini beberapa bulan setelahnya.

Bebas dari penjara, Imam Khomeini semakin lantang berbicara tentang kebobrokan rezim Pahlevi. Beliau menyeru rakyat untuk bangkit melawan kezaliman. Dalam sebuah pidatonya yang bersejarah, beliau membongkar hubungan terselubung rezim Shah dengan Israel. Imam juga membeberkan campur tangan AS di Iran dan pengkhiatan Pahlevi terhadap negeri dan rakyatnya. Pidato itu semakin membakar emosi rakyat. Merasa tak mampu meredam perlawanan Ayatollah Khomeini, Shah memutuskan untuk mengasingkan beliau ke luar negeri.

Tahun 1965, Imam Khomeini diasingkan ke Turki. Setahun kemudian beliau meninggalkan Turki menuju Irak. Di Najaf, beliau menetap selama 14 tahun. Rakyat Iran ditinggalkan oleh pemimpinnya yang diasingkan secara paksa ke luar negeri. Meski menjalani masa-masa yang sulit di pengasingan, namun perjuangan Imam Khomeini tak pernah padam. Pidato-pidato dan pesan-pesan beliau secara terus menerus dikirim ke dalam Iran oleh kader-kader perjuangan. Tahun 1967, saat terjadinya perdang Enam Hari Arab-Israel, Imam mengeluarkan fatwa yang mengharamkan segala bentuk hubungan ekonomi dan politik umat Islam dengan Israel. Beliau juga mengharamkan konsumsi produk-produk Israel. Dengan statemen-statemennya itu Imam Khomeini bukan hanya dikenal dan didukung oleh rakyat Iran tetapi juga oleh umat Islam di sejumlah negara lain seperti Irak, Mesir, Lebanon, dan Pakistan. (IRIB Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar

komen disini