Pada dekade 1970 ketika produksi minyak Iran semakin meningkat yang
diiringi dengan peningkatan harga bahan energi ini di pasar dunia, Shah
Mohammad Reza Pahlevi merasa bahwa kekuasaannya semakin kuat. Akibatnya,
dia tenggelam dalam kecongkakan dan tak segan membunuh dan menyiksa
siapa saja yang menentangnya. Rezim Pahlevi yang dimabuk kekayaan
gila-gilaan membeli senjata, perlengkapan militer dan produk-produk
konsumsi buatan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS).
Shah juga tak segan menjalin hubungan perdagangan secara terbuka dengan
Israel.
Di akhir tahun 1975, Shah Pahlevi membentuk satu
partai bernama Rastakhiz yang berarti kebangkitan, dengan tujuan
membangun sistem politik satu partai. Kebijakan itu semakin membuatnya
angkuh. Shah mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa seluruh rakyat
Iran harus menjadi anggota partai Rastakhiz. Bagi siapa saja yang
menolak, rezim sudah menyiapkan hukuman, yaitu harus meninggalkan Iran.
Keputusan rezim Shah direaksi keras oleh Imam Khomeini. Dalam fatwanya,
beliau menegaskan, "Mengingat penentangan partai ini terhadap Islam dan
kepentingan rakyat Iran yang Muslim, maka mengikuti partai ini haram
bagi semua orang dan termasuk membantu kezaliman dan penindasan terhadap
umat Islam."
Fatwa Imam Khomeini yang dengan tegas
mengharamkan keikutsertaan dalam partai Rastakhiz diikuti oleh para
ulama lain. Dengan adanya fatwa ini, semua usaha rezim yang sudah
dilakukan bertahun-tahun untuk memasukkan semua rakyat Iran ke dalam
partai itu gagal total.
Bulan Oktober 1977, rakyat Iran
berkabung atas syahidnya Ayatollah Sayid Mostafa Khomeini, putra sulung
Imam Khomeini. Syahidnya ulama muda ini ibarat pemantik yang menggugah
pusat-pusat keilmuan dan rakyat umum untuk bangkit melawan rezim. Imam
Khomeini menyebut Syahidnya Ayatollah Sayid Mostafa sebagai karunia
Allah yang tersembunyi. Konflik terbuka antara Imam Khomeini bersama
rakyat Iran melawan rezim Shah semakin memanas. Lewat pena para penulis
bayaran, rezim melakukan serangan urat saraf. Salah seorang penulis
bayaran dalam sebuah artikelnya menghujat Imam Khomeini. Rakyatpun
mereaksinya dengan turun ke jalan-jalan. Demonstrasi pertama digelar
oleh para ulama dan rohaniawan bersama warga di kota Qom pada tanggal 9
Januari 1978. Pasukan keamanan Shah menghadapi unjuk rasa itu dengan
senjata api. Terjadilah pembantaian massal di Qom.
Aksi unjuk
rasa warga Iran meluas ke kota-kota lain meniru apa yang dilakukan oleh
warga Qom. Pembantaian demi pembantaian dilakukan rezim terhadap rakyat
di banyak kota. Gerakan kebangkitan rakyat dengan cepat menemukan
bentuknya yang semakin solid. Tak ada yang bisa dilakukan rezim untuk
meredam kemarahan rakyat. Akhirnya untuk memadamkan gejolak, Shah
mencopot Perdana Menteri. Ja'far Sharif Emami, diangkat oleh Shah untuk
menjadi Perdana Menteri. Dalam masa pemerintahan Emami yang mengusung
slogan ‘pemerintahan rekonsiliasi nasional', terjadi pembantaian keji
rakyat di salah satu bundaran kota Tehran. Dia juga mengumumkan jam
malam dan darurat militer di Tehran dan 11 kota lainnya.
Di
Irak, Imam Khomeini dengan cermat mengikuti perkembangan Iran. Dalam
pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan ikut berduka atas musibah
yang menimpa mereka. Namun demikian beliau menyatakan, "… Shah harus
tahu bahwa rakyat Iran sudah menemukan jalannya dan tak akan mundur
sampai para penjahat itu dilumpuhkan, dan rakyat berhasil menuntut balas
atas diri mereka dan ayah-ayah mereka dari Savak. Dengan izin Allah
Yang Maha Perkasa, di seluruh penjuru negeri pekikan anti Shah dan anti
rezim menggema dan suara ini akan semakin keras."
Salah satu
hal yang ditekankan oleh Imam Khomeini dalam perjuangan melawan rezim
Shah adalah gerakan tanpa kekerasan seperti menggelar demonstrasi dan
melakukan aksi mogok. Seruan beliau disambut secara luas oleh rakyat
Iran. Di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, mereka bangkit melakukan
perlawanan terhadap kediktatoran dan penindasan rezim Pahlevi.
Tekanan yang dilakukan Rezim Irak terhadap pemimpin revolusi Islam Iran
memaksa Imam Khomeini untuk meninggalkan negara itu pada bulan Oktober
1978. Negara yang beliau tuju adalah Perancis. Dari negara itu, beliau
terus mengirimkan pesan-pesan perjuangan ke Iran. Menyaksikan aktivitas
Imam, Presiden Perancis mengirimkan pesan kepada beliau untuk tidak
melakukan aktivitas politik apapun di negara ini. Imam Khomeini menjawab
pesan Presiden Perancis dengan tegas dan menyatakan bahwa membatasi
aktivitas apapun bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diklaim oleh
Perancis. Imam juga menegaskan bahwa beliau tak akan pernah berhenti
memperjuangkan cita-citanya.
Neauphle le Chateau, desa tempat
Imam Khomeini tinggal menjadi sorotan dunia. Dalam wawancara dengan
berbagai media massa, beliau mengungkap berbagai kezaliman rezim Shah
dan intervensi AS dalam urusan internal Iran. Suara Imam didengar oleh
masyarakat dunia lewat media massa. Bangsa-bangsa lain di dunia akhirnya
mengenal ide pemikiran Imam Khomeini dalam perjuangannya ini.
Di Iran, aksi mogok yang dilakukan di seluruh penjuru negeri merambah ke
kantor-kantor pemerintahan dan pusat-pusat ketentaraan. Akhirnya pada
bulan Januari 1979, Shah Mohammad Reza Pahlevi lari meninggalkan Iran
bersama istri dan keluarganya. 18 hari kemudian, Imam Khomeini kembali
ke negara yang warganya sudah mengelu-elukan kedatangan beliau. 10 hari
setelah kedatangan sang pemimpin, tanggal 11 Februari 1979, kekuasaan
rezim Pahlevi benar-benar runtuh dan rakyat dengan suka cita mengumumkan
kemenangan revolusi Islam Iran. Kurang dari dua bulan setelah
kemenangan revolusi, rakyat Iran lewat referendum nasional memilih
bentuk pemerintahan Republik Islam dengan suara yang mencapai 98,2
persen.
Imam Khomeini menekankan bahwa pemerintahan yang baru
adalah pemerintahan Islam yang berbasis rakyat. Beliau mengatakan,
"Republik Islam menjadi sistem kenegaraan kita. Republik berarti basis
kerakyatan dengan suara mayoritas dan Islam adalah dasar dari
undang-undang dan hukum negara." Imam juga selalu peduli dengan
keterlibatan rakyat dalam urusan politik khususnya partisipasi mereka
dalam pemilihan umum.
Setelah kemenangan revolusi dan
berdirinya pemerinthan Republik Islam, kubu imperialis Barat terus
berusaha menumbangkan pemerintahan ini dengan berbagai cara. Barat
sadar, jika dibiarkan revolusi ini akan merembet ke negara-negara lain
yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Bangsa-bangsa akan terpanggil
untuk melawan rezim-rezim penguasa yang notabene memerintah dengan
zalim. Untuk merongrong Republik Islam Iran, kubu arogansi dunia
memanfaatkan komponen-komponen yang dimilikinya di dalam Iran. Misi
pertama adalah membunuh Imam Khomeini. Sebab, ulama kharismatik inilah
yang menjadi motor penggerak revolusi. Dialah yang memimpin negara
dengan kepemimpinan yang tanpa padanan di dunia. Agenda membunuh Imam
Khomeini gagal terlaksana.
Musuh-musuh Iran pada tahap
berikutnya mencoba cara lain, yaitu memecah Iran dari dalam. Mereka
membangkitkan sentimen kesukuan di berbagai wilayah Iran. Namun berkat
kepemimpinan Imam Khomeini yang arif, skenario inipun gagal, dan
kelompok-kelompok pemberontak berhasil dilumpuhkan oleh rakyat. Imam
selalu menyerukan persatuan kepada bangsa Iran, tanpa memandang
perbedaan suku, bahasa, mazhab bahkan agama. Semua orang diperlakuan
sama oleh hukum Islam dan berhak hidup dengan bebas dan aman di negara
ini.
Modus berikutnya yang dicoba untuk melumpuhkan Republik
Islam adalah embargo ekonomi dan propaganda gencar yang menyudutkan
Iran. Seiring dengan itu, musuh-musuh bangsa ini memprovokasi rezim Irak
untuk menyerang Iran. Perangpun meletus dan berlangsung selama delapan
tahun. Bangsa Iran yang baru bebas dari kekuasaan rezim despotik harus
menghadapi perang yang tak berimbang melawan Irak dan rezim Saddam
Hossein yang dibantu oleh banyak negara dunia. AS, Inggris, Perancis,
Jerman, dan 30 negara lainnya membantu Iran secara logistik, finansial
dan intelijen. Perang ini kembali memperlihatkan kapasitas Imam Khomeini
dalam memimpin bangsanya dan membawa rakyat Iran melewati ujian ini
dengan kepala tegak. Seruan sang Imam, membangkitkan semangat rakyat
Iran untuk melawan pasukan agresor dengan kekuatan iman, taqwa dan
keberanian. Perang inipun menjadi pentas pengorbanan dan ketulusan para
pejuang Iran yang terjun ke medan dengan keimanan.
Imam
Khomeini adalah sosok figur pemimpin yang sangat disiplin. Setiap
harinya ada waktu-waktu khusus bagi beliau untuk beribadah, membaca
al-Quran, menelaah buku, berolahraga, berpikir, dan menemui para pejabat
negara maupun tamu dari luar negeri. Meski sangat sibuk beliau tak
pernah melupakan rakyat. Selalu ada waktu yang beliau sisihkan untuk
bertemu dengan masyarakat umum. Sebab, beliau meyakini bahwa rakyat
adalah tulang punggung Revolusi Islam. Untuk setiap keputusan yang
hendak diambil, beliau selalu terlebih dahulu menyampaikannya secara
terbuka dan jujur kepada rakyat. Kecintaan Imam kepada rakyat juga
dibalas dengan kecintaan mereka yang sangat dalam kepada beliau. Dalam
setiap doa, rakyat Iran selalu memohon kesehatan dan umur yang panjang
bagi sang pemimpin.
Akan tetapi, takdir Allah berkata lain.
Tanggal 3 Juni 1989, Imam Khomeini memenuhi panggilan Sang Khalik dan
meninggalkan rakyat Iran dalam duka dan tangis. Beliau wafat dalam usia
87 tahun. Dalam surat wasiatnya, beliau menyatakan, "Dengan hati yang
tenang, jiwa yang tenteram, ruh yang ceria dan kalbu yang penuh harap
akan kemurahan Allah, saya mohon diri dari hadapan saudara dan saudari
semua untuk pergi ke alam keabadian, dan saya sangat memerlukan doa-doa
baik dari Anda semua." (IRIB Indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar
komen disini