Minggu, 03 Juni 2012

Cendekiawan Kontemporer Iran, Imam Khomeini Bagian 2

Pada dekade 1970 ketika produksi minyak Iran semakin meningkat yang diiringi dengan peningkatan harga bahan energi ini di pasar dunia, Shah Mohammad Reza Pahlevi merasa bahwa kekuasaannya semakin kuat. Akibatnya, dia tenggelam dalam kecongkakan dan tak segan membunuh dan menyiksa siapa saja yang menentangnya. Rezim Pahlevi yang dimabuk kekayaan gila-gilaan membeli senjata, perlengkapan militer dan produk-produk konsumsi buatan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Shah juga tak segan menjalin hubungan perdagangan secara terbuka dengan Israel.

Di akhir tahun 1975, Shah Pahlevi membentuk satu partai  bernama Rastakhiz yang berarti kebangkitan, dengan tujuan membangun sistem politik satu partai. Kebijakan itu semakin membuatnya angkuh. Shah mengeluarkan instruksi yang isinya bahwa seluruh rakyat Iran harus menjadi anggota partai Rastakhiz. Bagi siapa saja yang menolak, rezim sudah menyiapkan hukuman, yaitu harus meninggalkan Iran. Keputusan rezim Shah direaksi keras oleh Imam Khomeini. Dalam fatwanya, beliau menegaskan, "Mengingat penentangan partai ini terhadap Islam dan kepentingan rakyat Iran yang Muslim, maka mengikuti partai ini haram bagi semua orang dan termasuk membantu kezaliman dan penindasan terhadap umat Islam."

Fatwa Imam Khomeini yang dengan tegas mengharamkan keikutsertaan dalam partai Rastakhiz diikuti oleh para ulama lain. Dengan adanya fatwa ini, semua usaha rezim yang sudah dilakukan bertahun-tahun untuk memasukkan  semua rakyat Iran ke dalam partai itu gagal total.

Bulan Oktober 1977, rakyat Iran berkabung atas syahidnya Ayatollah Sayid Mostafa Khomeini, putra sulung Imam Khomeini. Syahidnya ulama muda ini ibarat pemantik yang menggugah pusat-pusat keilmuan dan rakyat umum untuk bangkit melawan rezim. Imam Khomeini menyebut Syahidnya Ayatollah Sayid Mostafa sebagai karunia Allah yang tersembunyi. Konflik terbuka antara Imam Khomeini bersama rakyat Iran melawan rezim Shah semakin memanas. Lewat pena para penulis bayaran, rezim melakukan serangan urat saraf. Salah seorang penulis bayaran dalam sebuah artikelnya menghujat Imam Khomeini. Rakyatpun mereaksinya dengan turun ke jalan-jalan. Demonstrasi pertama digelar oleh para ulama dan rohaniawan bersama warga di kota Qom pada tanggal 9 Januari 1978. Pasukan keamanan Shah menghadapi unjuk rasa itu dengan senjata api. Terjadilah pembantaian massal di Qom.

Aksi unjuk rasa warga Iran meluas ke kota-kota lain meniru apa yang dilakukan oleh warga Qom. Pembantaian demi pembantaian dilakukan rezim terhadap rakyat di banyak kota.  Gerakan kebangkitan rakyat dengan cepat menemukan bentuknya yang semakin solid. Tak ada yang bisa dilakukan rezim untuk meredam kemarahan rakyat. Akhirnya untuk memadamkan gejolak, Shah mencopot Perdana Menteri. Ja'far Sharif Emami, diangkat oleh Shah untuk menjadi Perdana Menteri. Dalam masa pemerintahan Emami yang mengusung slogan ‘pemerintahan rekonsiliasi nasional', terjadi pembantaian keji rakyat di salah satu bundaran kota Tehran. Dia juga mengumumkan jam malam dan darurat militer di Tehran dan 11 kota lainnya.

Di Irak, Imam Khomeini dengan cermat mengikuti perkembangan Iran. Dalam pesannya kepada rakyat Iran, beliau menyatakan ikut berduka atas musibah yang menimpa mereka. Namun demikian beliau menyatakan,  "… Shah harus tahu bahwa rakyat Iran sudah menemukan jalannya dan tak akan mundur sampai para penjahat itu dilumpuhkan, dan rakyat berhasil menuntut balas atas diri mereka dan ayah-ayah mereka dari Savak. Dengan izin Allah Yang Maha Perkasa, di seluruh penjuru negeri pekikan anti Shah dan anti rezim menggema  dan suara ini akan semakin keras."

Salah satu hal yang ditekankan oleh Imam Khomeini dalam perjuangan melawan rezim Shah adalah gerakan tanpa kekerasan seperti menggelar demonstrasi dan melakukan aksi mogok. Seruan beliau disambut secara luas oleh rakyat Iran. Di bawah kepemimpinan Imam Khomeini, mereka bangkit melakukan perlawanan terhadap kediktatoran dan penindasan rezim Pahlevi.

Tekanan yang dilakukan Rezim Irak terhadap pemimpin revolusi Islam Iran memaksa Imam Khomeini untuk meninggalkan negara itu pada bulan Oktober  1978. Negara yang beliau tuju adalah Perancis. Dari negara itu, beliau terus mengirimkan pesan-pesan perjuangan ke Iran. Menyaksikan aktivitas Imam, Presiden Perancis mengirimkan pesan kepada beliau untuk tidak melakukan aktivitas politik apapun di negara ini. Imam Khomeini menjawab pesan Presiden Perancis dengan tegas dan menyatakan bahwa membatasi aktivitas apapun bertentangan dengan prinsip demokrasi yang diklaim oleh Perancis. Imam juga menegaskan bahwa beliau tak akan pernah berhenti memperjuangkan cita-citanya.

Neauphle le Chateau, desa tempat Imam Khomeini tinggal menjadi sorotan dunia. Dalam wawancara dengan berbagai media massa, beliau mengungkap berbagai kezaliman rezim Shah dan intervensi AS dalam urusan internal Iran.  Suara Imam didengar oleh masyarakat dunia lewat media massa. Bangsa-bangsa lain di dunia akhirnya mengenal ide pemikiran Imam Khomeini dalam perjuangannya ini.

Di Iran, aksi mogok yang dilakukan di seluruh penjuru negeri merambah ke kantor-kantor pemerintahan dan pusat-pusat ketentaraan. Akhirnya pada bulan Januari 1979, Shah Mohammad Reza Pahlevi lari meninggalkan Iran bersama istri dan keluarganya. 18 hari kemudian, Imam Khomeini kembali ke negara yang warganya sudah mengelu-elukan kedatangan beliau. 10 hari setelah kedatangan sang pemimpin, tanggal 11 Februari 1979, kekuasaan rezim Pahlevi benar-benar runtuh dan rakyat dengan suka cita mengumumkan kemenangan revolusi Islam Iran. Kurang dari dua bulan setelah kemenangan revolusi, rakyat Iran lewat referendum nasional memilih bentuk pemerintahan Republik Islam dengan suara yang mencapai 98,2 persen.

Imam Khomeini menekankan bahwa pemerintahan yang baru adalah pemerintahan Islam yang berbasis rakyat. Beliau mengatakan, "Republik Islam menjadi sistem kenegaraan kita.  Republik berarti basis kerakyatan dengan suara mayoritas dan Islam adalah dasar dari undang-undang dan hukum negara." Imam juga selalu peduli dengan keterlibatan rakyat dalam urusan politik khususnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum.

Setelah kemenangan revolusi dan berdirinya pemerinthan Republik Islam, kubu imperialis Barat terus berusaha menumbangkan pemerintahan ini dengan berbagai cara. Barat sadar, jika dibiarkan revolusi ini akan merembet ke negara-negara lain yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. Bangsa-bangsa akan terpanggil untuk melawan rezim-rezim penguasa yang notabene memerintah dengan zalim. Untuk merongrong Republik Islam Iran, kubu arogansi dunia memanfaatkan komponen-komponen yang dimilikinya di dalam Iran. Misi pertama adalah membunuh Imam Khomeini. Sebab, ulama kharismatik inilah yang menjadi motor penggerak revolusi. Dialah yang memimpin negara dengan kepemimpinan yang tanpa padanan di dunia. Agenda membunuh Imam Khomeini gagal terlaksana.

Musuh-musuh Iran pada tahap berikutnya mencoba cara lain, yaitu memecah Iran dari dalam. Mereka membangkitkan sentimen kesukuan di berbagai wilayah Iran. Namun berkat kepemimpinan Imam Khomeini yang arif, skenario inipun gagal, dan kelompok-kelompok pemberontak berhasil dilumpuhkan oleh rakyat. Imam selalu menyerukan persatuan kepada bangsa Iran, tanpa memandang perbedaan suku, bahasa, mazhab bahkan agama. Semua orang diperlakuan sama oleh hukum Islam dan berhak hidup dengan bebas dan aman di negara ini.

Modus berikutnya yang dicoba untuk melumpuhkan Republik Islam adalah embargo ekonomi dan propaganda gencar yang menyudutkan Iran. Seiring dengan itu, musuh-musuh bangsa ini memprovokasi rezim Irak untuk menyerang Iran. Perangpun meletus dan berlangsung selama delapan tahun. Bangsa Iran yang baru bebas dari kekuasaan rezim despotik harus menghadapi perang yang tak berimbang melawan Irak dan rezim Saddam Hossein yang dibantu oleh banyak negara dunia. AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan 30 negara lainnya membantu Iran secara logistik, finansial dan intelijen. Perang ini kembali memperlihatkan kapasitas Imam Khomeini dalam memimpin bangsanya dan membawa rakyat Iran melewati ujian ini dengan kepala tegak. Seruan sang Imam, membangkitkan semangat rakyat Iran untuk melawan pasukan agresor dengan kekuatan iman, taqwa dan keberanian. Perang inipun menjadi pentas pengorbanan dan ketulusan para pejuang Iran yang terjun ke medan dengan keimanan.

Imam Khomeini adalah sosok figur pemimpin yang sangat disiplin. Setiap harinya ada waktu-waktu khusus bagi beliau untuk beribadah, membaca al-Quran, menelaah buku, berolahraga, berpikir, dan menemui para pejabat negara maupun tamu dari luar negeri. Meski sangat sibuk beliau tak pernah melupakan rakyat. Selalu ada waktu yang beliau sisihkan untuk bertemu dengan masyarakat umum. Sebab, beliau meyakini bahwa rakyat adalah tulang punggung Revolusi Islam. Untuk setiap keputusan yang hendak diambil, beliau selalu terlebih dahulu menyampaikannya secara terbuka dan jujur kepada rakyat. Kecintaan Imam kepada rakyat juga dibalas dengan kecintaan mereka yang sangat dalam kepada beliau. Dalam setiap doa, rakyat Iran selalu memohon kesehatan dan umur yang panjang bagi sang pemimpin.

Akan tetapi, takdir Allah berkata lain. Tanggal 3 Juni 1989, Imam Khomeini memenuhi panggilan Sang Khalik dan meninggalkan rakyat Iran dalam duka dan tangis. Beliau wafat dalam usia 87 tahun. Dalam surat wasiatnya, beliau menyatakan, "Dengan hati yang tenang, jiwa yang tenteram, ruh yang ceria dan kalbu yang penuh harap akan kemurahan Allah, saya mohon diri dari hadapan saudara dan saudari semua untuk pergi ke alam keabadian, dan saya sangat memerlukan doa-doa baik dari Anda semua." (IRIB Indonesia)

0 komentar:

Posting Komentar

komen disini